Oleh:
Zukril Yu
Dimuat di Pikiran Rakyat, 07 Mei 2017
Mencintai itu tidak harus memiliki. Kalimat itu
terdengar indah sekali, bukan? Terlebih
ketika siapapun yang belum pernah mengalami kisah yang sama dan dengan sok
bijaknya menasehati orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Atau, pada
orang yang saling mencintai tetapi tidak bisa bersama karena berbagai alasan .
Aku mencintai Murni. Tetapi gadis itu memiliki cinta yang kalah besar dibanding cintaku. Ketika suatu hari di sore yang cerah aku dengan nekat mengungkapkan keinginanku untuk memilikinya pada bapaknya, Murni hanya manut ketika lelaki berkumis tebal itu menggeleng dengan tegas. Tanpa berusaha berjuang meyakinkan bapaknya bahwa aku adalah lelaki yang layak untuk diperjuangkan. Atau, setidaknya berpura-pura merajuk dengan cara tidak makan selama tiga hari dan mengurung diri dalam kamar. Dan ia sama sekali tidak melakukan itu. Ia hanya diam menunduk di sisi kanan bapaknya duduk.
Murni, gadis semok yang terlalu penurut. Barangkali
itu salah satu alasan aku menyukainya. Tetapi, sifat penurut pada bapaknya kali
ini sungguh membuat aku geram. Awalnya ia sangat menggebu-gebu ketika aku
mengutarakan keinginanku untuk menjumpai bapaknya. Bahkan, ia juga yang meminta
aku mengenakan kemeja warna biru, karena itu warna kesukaan bapaknya. Dan aku
melakukan itu. Yang tidak aku lakukan hanya melawan bapaknya bermain catur.
Karena aku memang tidak paham bagaimana cara menggerakan benteng, gajah, dan
pion.
"Kamu belum bekerja, tapi berani-beraninya
melamar anak saya." Begitu alasan bapaknya menolakku. Waktu itu beliau
mengenakan sarung dengan atasan kaos putih polos (itu pun kalau masih layak
dibilang putih, karena warna kuning kecokelatan terlalu mendominan). Tangannya
memegang cerutu yang baru saja mengeluarkan asap tebal dari mulutnya, beberapa
detik setelah muntahan kata yang tidak aku harapkan.
Padahal sudah berulang kali aku meyakinkan bahwa aku
bukan pengangguran. Seperti yang bapaknya tahu, pun penilaian-penilaian
kebanyakan penduduk desa lain kepadaku.
Aku penulis! Begitu aku meyakinkan. Tetapi lelaki
tua itu sama sekali tidak tertarik dengan kata penulis. Baginya, juga
kebanyakan penduduk desa lainnya, yang namanya profesi itu adalah orang-orang
yang bekerja berangkat di pagi hari dan pulang di sore hari. Seperti pegawai
kecamatan atau pegawai kelurahan itu. Atau polisi dan TNI. Mantri atau bidan.
Atau tukang pos.
Dan meyakinkan bahwa aku seorang penulis pada lelaki
tua berpikiran cekek itu memang tidak mudah. Maaf, aku memang harus jujur bahwa
ia lelaki yang berpikiran sempit, seperti kebanyakan penduduk desa kami
lainnya. Sekali pun begitu, ia memiliki anak yang luar biasa semok dan cantik.
Dan aku bukan saja mencintai, tetapi bisa dikatakan sudah berada pada titik
gila ingin memiliki.
"Apa buktinya kalau kau penulis?"
Ketika lelaki itu bertanya demikian, keesokan
harinya aku kembali datang ke rumahnya-masih ditemani Murni-dengan membawa
beberapa lembar koran yang memuat tulisanku. Aku menaruh koran-koran itu dengan
bangga di atas meja, persis di samping kopi hitamnya nan kental. Lelaki yang
duduk di depanku itu menatapku sejenak sebelum meraih gelas berisi kopi dan
menggeser beberapa senti dan mengambil koran itu. Murni duduk di sebelah
bapaknya dengan tangan memilintir-lintir ujung baju dan menggigit bibir bagian
bawahnya. Bibir tipis itu ranum sekali. Aku sudah membayangkan seandainya restu
orang tua yang duduk di depanku ini sudah kudapatkan.
"Ini kamu yang menulis?" Tanyanya seraya
mengangkat beberapa koran.
Aku mengangguk dengan bangga seraya menunjuk nama
penulis yang tertera di koran tersebut. Diluar dugaan, lelaki berkumis tebal
itu menghempaskan koran tadi ke atas meja.
"Kau ingin menipuku?" Tukasnya dengan
geram. Ia melanjutkan, "ada banyak nama yang sama di dunia ini. Dan siapa yang bisa menjamin kalau nama
penulis ini adalah namamu? Kecuali kalau di sini ada fotomu."
Setelah menunjuk-nunjuk namaku yang tertulis buram
di koran, lelaki itu mengusirku.
Lagi-lagi, Murni sama sekali tidak berusaha
melakukan pembelaan. Bahkan ketika aku beranjak pergi. Ia masih diam menunduk
di samping bapaknya duduk.
***
Hari-hari berikutnya aku menjalani dengan dendam.
Aku akan membuktikan, bukan saja pada lelaki berkumis tebal yang dipanggil
bapak oleh perempuan semok yang kucintai, tetapi juga kepada semua orang di
kampung ini bahwa aku bukanlah pengangguran. Seperti tuduhan mereka. Aku adalah
penulis, salah satu profesi yang juga tidak kalah membanggakan dibanding
polisi, pegawai kecamatan, pegawai kelurahan, mantri, bidan, dan profesi
lainnya.
Hari-hari berikutnya aku menghabiskan waktu dengan
menulis dan menulis. Mengirim ke
koran-koran dan majalah yang bukan saja menuliskan nama penulis, tetapi juga
memasang foto dari penulis tersebut. Tidak siang tidak malam. Aku tidak lagi
memerdulikan apakah matahari sudah terbit atau mungkin kembali terbenam. Selain
untuk majalah dan koran-koran, aku juga mulai menulis novel. Barangkali, ketika
buku tunggalku terbit, bapak Murni akan terperangah begitu melihat fotoku di
profile penulis yang ada di halaman akhir. Di buku, ia tidak akan lagi bisa
membantah bahwa itu aku. Ada foto, ada nama, ada tempat dan tanggal lahir, ada
semua tentang penulis yang ditulis secara detail.
Dan ketika waktu itu datang, masihkah ia punya
alasan untuk tidak menerimaku? Aku tersenyum dengan pongah.
***
Murni, gadis semok yang menjadi alasanku nyaris
tidak keluar dari kamar dan hanya berteman kata-kata selama setengah tahun.
Murni, gadis cantik pemilik bibir tipis nan ranum yang membuatku rela melakukan
apa saja demi mendapatkannya. Segala tentang gadis itu mengental dalam ingatan.
Aku tersenyum puas dalam setelan kemeja warna biru yang wangi. Kemeja yang sama
dengan yang aku kenakan dulu. Beberapa koran dan majalah yang memuat tulisan
yang ada fotoku, pun buku yang kuterbitkan secara indie, tergenggam dengan
erat.
Setelah enam bulan, ini adalah kali pertama aku
kembali menjejakan kaki ke rumah Murni. Dan dalam kurun waktu itu, bukan saja
lelah dengan pembuktian yang aku lakukan, tetapi juga lelah menanggung rindu
pada gadis impian. Tetapi tidak apa. Melihat hari ini, melihat usaha keras yang
aku lakukan akhir-akhir ini, aku harus membenarkan apa yang dikatakan Eka
Kurniawan. Seperti dendam, rindu juga harus dibayar dengan tuntas.
"Murni sudah dibawa suaminya ke kota."
"Suami?" Aku menatap lelaki yang berdiri
di depan pintu itu. Seharusnya, bias wajahku sudah cukup menjelaskan bahwa aku
tidak percaya pada apa yang ia katakan. Sebaliknya, bukannya menjelaskan,
lelaki itu justru sibuk memperbaiki sarungnya.
"Iya, suaminya." Jawabnya dengan tenang.
Aku menelan ludah dengan getir. Seperti dendam,
rindu ini tak akan pernah terbayar dengan tuntas.
Dan dari orang-oranglah, akhirnya aku tahu bahwa
beberapa hari setelah aku melamar Murni, bapaknya sibuk mencarikan jodoh anak
gadisnya itu dengan lelaki lain.
_end_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar