Oleh : Zukril Yu
Dimuat di Merah Putih Pos, edisi 11/17-13 Maret 2016
Kepulangan yang aku impikan adalah kepulangan penuh
dendam. Dendam pada keadaan masa lalu yang menjadi alasanku meninggalkan
kampung halaman. Pulang dengan mimpi yang telah aku rancang begitu indah.
Seindah pagi begitu matahari mengusir embun di pucuk dedaunan sepanjang sungai
kehidupan. Seindah senja ketika bola api raksasa itu menyiram tinta merah
jingga pada riak kecil sungai kehidupan di Km. 0
Tapi kepulangan kali ini adalah kepulangan yang
tidak aku impikan. Aku pulang dengan apa adanya. Tidak berbeda dengan waktu aku
meninggalkan tanah kelahiran dengan penuh rasa amarah. Bajuku masih lusuh,
keringat masih asin, dan napas pun masih amis. Di mana dendamku? Di mana
mimpiku? Semua menguap dengan cerita pagi begitu salah satu stasiun TV swasta
mengabarkan, dari warung kopi tempat aku mengganjal perut sebelum siang
menjelang, di perantauan tempat aku menumpang.
Bus melaju dengan kencang, melewati hutan-hutan
sawit yang masih menghijau. Tidak salah. Ini memang negeri yang kaya. Di atas
minyak, dan di perut bumi juga menyimpan minyak. Lantas apa yang kurang dengan
negeri ini, bila kaum marjinal pelan-pelan terpinggirkan? Aku terlahir dalam
keluarga yang hidup di pinggiran sungai. Salah satu sungai terdalam di negeri
ini.
Sungai kehidupan, begitulah kami menyebutnya. Cukup
di sini, dan hanya di sini kamu akan bisa hidup. Sungai yang menyimpan banyak
kekayaan. Ikan-ikan segar, udang yang besar-besar, kepiting, kami dengan mudah
mendapatkan. Setiap hari, dan sungai ini menyimpan kekayaan yang tidak pernah
habisnya.
Bus yang aku tumpangi berhenti sejenak di tempat
pengisian bahan bakar. Sebagian penumpang memanfaatkan waktu untuk pergi ke
toilet. Cukup lama, karena ternyata masih sama seperti dulu, antrian kendaraan
mengisi bahan bakar sangat panjang. Selalu, daerah penghasil minyak kekurangan
minyak. Inilah barangkali yang disebut anak ayam mati di lumbung padi. Siapa
yag harus disalahkan?
Antrian ini mengingatkanku pada antrian kendaraan
yang hendak melintasi sungai kehidupan di km.0. Untuk melintasi sungai itu,
sebuah perusahaan pengeboran minyak terbesar di negeri ini yang berpusat di seberang
sungai menyediakan sebuah kapal besar. Pada dasarnya kapal itu diperuntukkan
sebagai alat penyeberang kendaraan-kendaraan perusahaan dalam beroperasi.
Selain itu kapal juga digunakan untuk melayani masyarakat umum. Pengaruhnya,
meskipun beroperasi 2x24 jam, tetap saja kapal itu tidak sanggup menampung
antrian kendaraan. Keadaan seperti itu dimanfaatkan bapak dan warga lainnya
yang memiliki sampan kecil untuk menambah penghasilan selain sebagai nelayan di
sungai kehidupan. Kendaraan roda dua ataupun penumpang-penumpang bus yang tidak
memiliki kesabaran lebih dan tidak sanggup terjebak dalam antrian yang panjang,
biasanya memanfaatkan jasa sampan kecil untung menyeberangi sungai. Begitu
baiknya sungai kehidupan, sehingga semua kebutuhan kami tercukupi dari sini.
Usai mengisi bahan bakar, bus melanjutkan perjalanan
melintasi perbatasan begitu matahari lurus berada di langit. Perasaanku mulai
tidak nyaman. Rasa yang membawaku pulang tiba-tiba membuncah. Berbagai kemungkinan
bersiliweran di kepala. Semuanya luka. Semuanya duka. Memasuki km. 15,
tenda-tenda pengungsian mulai kelihatan. Wajah-wajah pias penuh luka terlihat
jelas di wajah mereka.
Seperti lukaku waktu meninggalkan kampung halaman.
"Tak ada lagi yang bersisa. Tak ada lagi yang
bisa di makan. TV, lemari, semua sudah habis dijual." Ibu meratap dari
balik kamar. Tidak ada suara bapak, kecuali hanya isakan ibu. Kehidupan
tiba-tiba menjadi begitu sulit. penghasilan dari membantu orang-orang
menyeberangi sungai dengan sampan kecil warisan kakek tidak lagi bisa
diharapkan begitu pemerintah membangun jembatan yang sangat megah untuk
melintasi sungai kehidupan. Jelang beberapa tahun, sebuah perusahaan yang
kabarnya memproduksi kertas beroperasi di km.0
Harusnya ini menjadi kabar gembira. Selain menangkap
ikan, setidaknya warga akan punya penghasilan baru dengan bekerja di perusahaan
besar berskala internasional itu. Tapi siapa nyana, ternyata karyawannya
direkrut dari Cina, Taiwan, India, dan sebagian lagi direkrut dari lulusan
sekolah di pulau seberang. Dan tidak ada yang bisa diperbuat karena sepertinya
orang-orang besar yang seharusnya melindungi penduduknya telah dibungkam.
Ternyata penderitaan kembali memperpanjang kisah.
Kekayaan sungai yang sekarang menjadi satu-satunya penghasilan warga tidak lagi
memberikan kehidupan. Ikan-ikan, udang, dan makhluk sungai lainnya tiba-tiba
menghilang. Warga kebingungan. Sempat terpikir kalau makhluk-makhluk sungai itu
pada takut dengan kapal-kapal besar yang saban waktu melintasi sungai sejak
perusahaan besar itu berdiri. Kapal yang datang membongkar bahan dasar, pun
kapal yang pergi membawa hasil produksi.
Sebagian juga berpikir bahwa ikan-ikannya mandul
akibat pencemaran sungai karena begitu banyak zat-zat kimia yang aku tidak tahu
namanya mengalir ke dalam sungai.
Entahlah. Yang kami tahu kehidupan benar-benar
sulit. Sebagian warga yang beruntung bisa bekerja sebagai cleaning service dengan bayaran sesuai jumlah keringat yang
menetes.
Seandainya dahulu kami tidak terlalu nyaman dengan
keadaan. Seandainya dahulu kami memahami arti pentingnya sebuah pendidikan.
Mungkin kami bisa mendeteksi hama-hama yang akan menyerang tanah leluhur ini.
Hama yang bukan saja dari binatang, akan tetapi juga hama dari manusia-manusia
yang lebih rakus dari binatang jalang.
Kebaikan alam selama ini kami pikir sudah cukup
mengantarkan kami pada kehidupan yang layak sampai pada keabadian. Tetapi
sekarang apa yang bisa kami perbuat selain memelihara emosi. Kami
terpinggirkan, perlahan hilang.
Tepat berada di km. 14, bus yang aku tumpangi
berhenti. Kondektur mengatakan bahwa perjalanan tidak bisa dilanjutkan. Daerah
radius 14 kilo meter harus dikosongkan. Aku merinding. Separah itukah keadaaan,
sehingga sampai 14 kilo meter harus dikosongkan? Detak jantungku melebihi batas
normal. Teriakan histeris memekakkan telinga. Air mata tumpah. Keadaan
benar-benar kacau.
Ransel kusam aku seret ke luar bus. Mataku menganak
sungai demi melihat-lihat dan mencari-cari. Bapak, ibu, Annisa, kalian di mana?
Ribuan manusia dalam tumpahan keringat dan air mata yang amis. Ada lelah dalam
teriakan. Ada yang terdiam. Tidak sedikit juga yang mencoba menerobos police line.
“Aku harus ke km.0,” rahangku mengeras dalam dekapan
seorang petugas polisi yang mencoba menahanku. Mukaku basah, bukan saja karena
keringat tapi juga air mata yang tidak lagi aku bisa membendungnya.
“Km.0 adalah pusat bencana. Tidak ada yang boleh ke
sana. Bahkan daerah radius 14 kilo meter harus di kosongkan.” ucapnya tak kalah
lebih keras dari suaraku.
“Kau tahu, di sana ada bapakku, ibuku, adikku.”
ucapku lirih. Mengiba dalam lelah. Aku terjatuh.
“Bukan kau
saja. Ini musibah kita semua. Bahkan, sampai sekarang aku juga belum tahu
keberadaan ibuku.” Balas polisi itu. Ia mendekapku yang tengah terisak. Erat.
Aku mengucap Asma Allah. Melepaskan dekapannya dan
mendongakkan kepala menatap wajahnya yang ternyata jauh lebih lelah. Dia yang
juga kehilangan, tapi tetap terlihat tegar menjalankan tugasnya memberikan
kekuatan pada yang lainnya.
“Kau bisa mencari bapak, ibu, dan adikmu dibeberapa
titik pengungsian. Minta tolong pada relawan-relawan di sana. Karena ada
beberapa korban yang tidak diketahui identitasnya.” lanjut petugas polisi tadi
memegang pundakku erat.
Aku berjalan gontai menuju tempat yang memungkinkan
untuk mendapatkan informasi. Dibeberapa tenda yang berdiri seadanya, aku
melihat lalu lalang manusia-manusia berpakaian serba putih yang sibuk
memberikan pertolongan pertama pada korban.
“Maaf, nama-nama orang yang anda maksud tidak ada di
data kami. Coba cari di tempat pengungsian yang lain.” seorang relawan
berjilbab biru menatapku lembut. Senyuman hangat tak lupa dihadiahkan untukku.
“Yang ikhlas dan kuat. Semoga keluarganya baik-baik saja.” lanjut wanita itu
lagi yang di-Amiin-kan seorang wanita yang juga sibuk di sebelahnya.
Informasi yang aku dapatkan dari TV sebelum aku
berangkat ke sini ternyata benar adanya. Pembaca berita pagi itu mengabarkan
bahwa telah terjadi ledakan sebuah tanki
yang berisi CLO2, namun belum
diketahui penyebab pastinya. Ledakkan yang berada di km.0 itu, tepatnya dari
dalam perusahaan yang yang menjadi kebanggaan daerah ini, tidak hanya menghancurkan
perusahaan, tapi juga pemukiman masyarakat. Memakan korban yang tidak sedikit.
Dari menit ke menit, jam ke jam korban terus bertambah.
Pembaca berita tersebut juga menginformasikan bahwa
ternyata perusahaan swasta itu hanya memiliki izin memproduksi kertas. Bukan izin
memproduksi CLO2, zat pemutih yang
dibutuhkan dalam proses pembuatan kertas. Chlorine
dioxide yang merupakan nama lain dari CLO2
ini tidak hanya berbahaya terhadap manusia, tetapi juga terhadap lingkungan.
Apapun itu namanya, aku tidak mengerti. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah, di
mana bapak, ibu, dan Annisa?
_end_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar