Selasa, 30 Mei 2017

Cerpen: KM. 0



 
Oleh : Zukril Yu
Dimuat di Merah Putih Pos, edisi 11/17-13 Maret 2016

Kepulangan yang aku impikan adalah kepulangan penuh dendam. Dendam pada keadaan masa lalu yang menjadi alasanku meninggalkan kampung halaman. Pulang dengan mimpi yang telah aku rancang begitu indah. Seindah pagi begitu matahari mengusir embun di pucuk dedaunan sepanjang sungai kehidupan. Seindah senja ketika bola api raksasa itu menyiram tinta merah jingga pada riak kecil sungai kehidupan di Km. 0

Tapi kepulangan kali ini adalah kepulangan yang tidak aku impikan. Aku pulang dengan apa adanya. Tidak berbeda dengan waktu aku meninggalkan tanah kelahiran dengan penuh rasa amarah. Bajuku masih lusuh, keringat masih asin, dan napas pun masih amis. Di mana dendamku? Di mana mimpiku? Semua menguap dengan cerita pagi begitu salah satu stasiun TV swasta mengabarkan, dari warung kopi tempat aku mengganjal perut sebelum siang menjelang, di perantauan tempat aku menumpang.
Bus melaju dengan kencang, melewati hutan-hutan sawit yang masih menghijau. Tidak salah. Ini memang negeri yang kaya. Di atas minyak, dan di perut bumi juga menyimpan minyak. Lantas apa yang kurang dengan negeri ini, bila kaum marjinal pelan-pelan terpinggirkan? Aku terlahir dalam keluarga yang hidup di pinggiran sungai. Salah satu sungai terdalam di negeri ini.
Sungai kehidupan, begitulah kami menyebutnya. Cukup di sini, dan hanya di sini kamu akan bisa hidup. Sungai yang menyimpan banyak kekayaan. Ikan-ikan segar, udang yang besar-besar, kepiting, kami dengan mudah mendapatkan. Setiap hari, dan sungai ini menyimpan kekayaan yang tidak pernah habisnya.
Bus yang aku tumpangi berhenti sejenak di tempat pengisian bahan bakar. Sebagian penumpang memanfaatkan waktu untuk pergi ke toilet. Cukup lama, karena ternyata masih sama seperti dulu, antrian kendaraan mengisi bahan bakar sangat panjang. Selalu, daerah penghasil minyak kekurangan minyak. Inilah barangkali yang disebut anak ayam mati di lumbung padi. Siapa yag harus disalahkan?
Antrian ini mengingatkanku pada antrian kendaraan yang hendak melintasi sungai kehidupan di km.0. Untuk melintasi sungai itu, sebuah perusahaan pengeboran minyak terbesar di negeri ini yang berpusat di seberang sungai menyediakan sebuah kapal besar. Pada dasarnya kapal itu diperuntukkan sebagai alat penyeberang kendaraan-kendaraan perusahaan dalam beroperasi. Selain itu kapal juga digunakan untuk melayani masyarakat umum. Pengaruhnya, meskipun beroperasi 2x24 jam, tetap saja kapal itu tidak sanggup menampung antrian kendaraan. Keadaan seperti itu dimanfaatkan bapak dan warga lainnya yang memiliki sampan kecil untuk menambah penghasilan selain sebagai nelayan di sungai kehidupan. Kendaraan roda dua ataupun penumpang-penumpang bus yang tidak memiliki kesabaran lebih dan tidak sanggup terjebak dalam antrian yang panjang, biasanya memanfaatkan jasa sampan kecil untung menyeberangi sungai. Begitu baiknya sungai kehidupan, sehingga semua kebutuhan kami tercukupi dari sini.
Usai mengisi bahan bakar, bus melanjutkan perjalanan melintasi perbatasan begitu matahari lurus berada di langit. Perasaanku mulai tidak nyaman. Rasa yang membawaku pulang tiba-tiba membuncah. Berbagai kemungkinan bersiliweran di kepala. Semuanya luka. Semuanya duka. Memasuki km. 15, tenda-tenda pengungsian mulai kelihatan. Wajah-wajah pias penuh luka terlihat jelas di wajah mereka.
Seperti lukaku waktu meninggalkan kampung halaman.
"Tak ada lagi yang bersisa. Tak ada lagi yang bisa di makan. TV, lemari, semua sudah habis dijual." Ibu meratap dari balik kamar. Tidak ada suara bapak, kecuali hanya isakan ibu. Kehidupan tiba-tiba menjadi begitu sulit. penghasilan dari membantu orang-orang menyeberangi sungai dengan sampan kecil warisan kakek tidak lagi bisa diharapkan begitu pemerintah membangun jembatan yang sangat megah untuk melintasi sungai kehidupan. Jelang beberapa tahun, sebuah perusahaan yang kabarnya memproduksi kertas beroperasi di km.0
Harusnya ini menjadi kabar gembira. Selain menangkap ikan, setidaknya warga akan punya penghasilan baru dengan bekerja di perusahaan besar berskala internasional itu. Tapi siapa nyana, ternyata karyawannya direkrut dari Cina, Taiwan, India, dan sebagian lagi direkrut dari lulusan sekolah di pulau seberang. Dan tidak ada yang bisa diperbuat karena sepertinya orang-orang besar yang seharusnya melindungi penduduknya telah dibungkam.
Ternyata penderitaan kembali memperpanjang kisah. Kekayaan sungai yang sekarang menjadi satu-satunya penghasilan warga tidak lagi memberikan kehidupan. Ikan-ikan, udang, dan makhluk sungai lainnya tiba-tiba menghilang. Warga kebingungan. Sempat terpikir kalau makhluk-makhluk sungai itu pada takut dengan kapal-kapal besar yang saban waktu melintasi sungai sejak perusahaan besar itu berdiri. Kapal yang datang membongkar bahan dasar, pun kapal yang pergi membawa hasil produksi.
Sebagian juga berpikir bahwa ikan-ikannya mandul akibat pencemaran sungai karena begitu banyak zat-zat kimia yang aku tidak tahu namanya mengalir ke dalam sungai.
Entahlah. Yang kami tahu kehidupan benar-benar sulit. Sebagian warga yang beruntung bisa bekerja sebagai cleaning service dengan bayaran sesuai jumlah keringat yang menetes.
Seandainya dahulu kami tidak terlalu nyaman dengan keadaan. Seandainya dahulu kami memahami arti pentingnya sebuah pendidikan. Mungkin kami bisa mendeteksi hama-hama yang akan menyerang tanah leluhur ini. Hama yang bukan saja dari binatang, akan tetapi juga hama dari manusia-manusia yang lebih rakus dari binatang jalang.
Kebaikan alam selama ini kami pikir sudah cukup mengantarkan kami pada kehidupan yang layak sampai pada keabadian. Tetapi sekarang apa yang bisa kami perbuat selain memelihara emosi. Kami terpinggirkan, perlahan hilang.
Tepat berada di km. 14, bus yang aku tumpangi berhenti. Kondektur mengatakan bahwa perjalanan tidak bisa dilanjutkan. Daerah radius 14 kilo meter harus dikosongkan. Aku merinding. Separah itukah keadaaan, sehingga sampai 14 kilo meter harus dikosongkan? Detak jantungku melebihi batas normal. Teriakan histeris memekakkan telinga. Air mata tumpah. Keadaan benar-benar kacau.
Ransel kusam aku seret ke luar bus. Mataku menganak sungai demi melihat-lihat dan mencari-cari. Bapak, ibu, Annisa, kalian di mana? Ribuan manusia dalam tumpahan keringat dan air mata yang amis. Ada lelah dalam teriakan. Ada yang terdiam. Tidak sedikit juga yang mencoba menerobos police line.
“Aku harus ke km.0,” rahangku mengeras dalam dekapan seorang petugas polisi yang mencoba menahanku. Mukaku basah, bukan saja karena keringat tapi juga air mata yang tidak lagi aku bisa membendungnya.
“Km.0 adalah pusat bencana. Tidak ada yang boleh ke sana. Bahkan daerah radius 14 kilo meter harus di kosongkan.” ucapnya tak kalah lebih keras dari suaraku.
“Kau tahu, di sana ada bapakku, ibuku, adikku.” ucapku lirih. Mengiba dalam lelah. Aku terjatuh.
“Bukan kau saja. Ini musibah kita semua. Bahkan, sampai sekarang aku juga belum tahu keberadaan ibuku.” Balas polisi itu. Ia mendekapku yang tengah terisak. Erat.
Aku mengucap Asma Allah. Melepaskan dekapannya dan mendongakkan kepala menatap wajahnya yang ternyata jauh lebih lelah. Dia yang juga kehilangan, tapi tetap terlihat tegar menjalankan tugasnya memberikan kekuatan pada yang lainnya.
“Kau bisa mencari bapak, ibu, dan adikmu dibeberapa titik pengungsian. Minta tolong pada relawan-relawan di sana. Karena ada beberapa korban yang tidak diketahui identitasnya.” lanjut petugas polisi tadi memegang pundakku erat.  
Aku berjalan gontai menuju tempat yang memungkinkan untuk mendapatkan informasi. Dibeberapa tenda yang berdiri seadanya, aku melihat lalu lalang manusia-manusia berpakaian serba putih yang sibuk memberikan pertolongan pertama pada korban.
“Maaf, nama-nama orang yang anda maksud tidak ada di data kami. Coba cari di tempat pengungsian yang lain.” seorang relawan berjilbab biru menatapku lembut. Senyuman hangat tak lupa dihadiahkan untukku. “Yang ikhlas dan kuat. Semoga keluarganya baik-baik saja.” lanjut wanita itu lagi yang di-Amiin-kan seorang wanita yang juga sibuk di sebelahnya.
Informasi yang aku dapatkan dari TV sebelum aku berangkat ke sini ternyata benar adanya. Pembaca berita pagi itu mengabarkan bahwa telah terjadi  ledakan sebuah tanki yang berisi CLO2, namun belum diketahui penyebab pastinya. Ledakkan yang berada di km.0 itu, tepatnya dari dalam perusahaan yang yang menjadi kebanggaan daerah ini, tidak hanya menghancurkan perusahaan, tapi juga pemukiman masyarakat. Memakan korban yang tidak sedikit. Dari menit ke menit, jam ke jam korban terus bertambah.
Pembaca berita tersebut juga menginformasikan bahwa ternyata perusahaan swasta itu hanya memiliki izin memproduksi kertas. Bukan izin memproduksi CLO2, zat pemutih yang dibutuhkan dalam proses pembuatan kertas. Chlorine dioxide yang merupakan nama lain dari CLO2 ini tidak hanya berbahaya terhadap manusia, tetapi juga terhadap lingkungan. Apapun itu namanya, aku tidak mengerti. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah, di mana bapak, ibu, dan Annisa?

_end_


Tidak ada komentar:

Posting Komentar