Selasa, 30 Mei 2017

Cerpen: Lelakiku, Lelaki Tidak Berkaki






Oleh    : Zukril Yu

Dimuat di kolom Apresiasi www.TamanFiksi.com, 02 Juni 2015


Aku makin mempercepat putaran pedal sepedaku. Di tengah derunya hujan yang membungkam diam denyut nadi kota kecil ini. Bibirku bergetar pucat, jemariku mengerucut hebat. Aku tidak perduli. Meski setajam jarum  ataupun sebesar balok es, hujan ini menusuk-nusuk mukaku, aku tidak perduli. Bagaimanapun caranya, sepeda ontel ini harus mengantarkanku ke bibir pantai. Sebelum senja terbunuh kelam. Sebelum pasang menenggelamkan.
Petir menggelegar begitu aku melintasi jalan setapak di tengah hutan pinus yang lebat. Sepi. Sangat sepi. Dibatas penglihatan, aku melihat sosok bayang. Makin dekat kian terlihat. Seorang lelaki tidak berkaki, berjalan menggunakan kedua tangan di pinggir jalan. Menggigil.
Kembali, petir menghujam sepi. Aku ketakutan. Tapi rasa takut justru makin mempercepat ayunan kakiku pada pedal sepeda. Sosok itu kian jelas meski hujan makin deras dan kelam kian pekat.
"Bayu, maafkan Kakak telat menjemput." Ucapku lirih begitu sudah ada didekatnya. Aku memeluknya erat. Lelaki tidak berkaki, lelakiku ... adikku satu-satunya.
"Nggak apa-apa, Kak." Bayu mengusap lembut mukanya yang basah.
Aku bantu Bayu menaiki jok belakang sepeda ontelku. Aku kembali mengayuh pelan. Pulang. Dialah Adikku, satu-satunya saudara yang aku punya. Sejak kecelakaan satu tahun silam, kami tidak saja kehilangan kedua orang tua yang sangat kami cintai, tetapi Adikku juga harus merelakan kedua kakinya. Waktu itu, mini bus yang ditumpangi bapak, ibu, juga Bayu yang hendak menuju kota kabupaten, jatuh ke dalam jurang.
Saat itulah semua berubah. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, tidak lagi baik-baik saja. Sosok seorang bapak dan seorang ibu yang selalu melindungi anak-anaknya, menjaga, menyayangi, mendidik, memberi petuah, sekarang tidak lagi ada. Mereka sudah tenang di kampung halaman yang jauh di negeri Tuhan.
Tapi kehidupan harus tetap berjalan, bukan? Meskipun hanya aku dan Bayu yang tertinggal.
Aku yang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah, tidaklah bisa menjadi dewasa seutuhnya. Aku tidak bisa mempertahankan kehidupan berjalan seperti sebelumnya, seperti ketika bapak dan ibu masih hidup. Yang bisa aku lakukan dalam keberpura-puraaan kedewasaanku hanyalah mencari makan dan makan. Hanya itu! Aku tidak bisa melanjutkan mimpiku dan mimpi adikku untuk menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya. Keadaan memaksa kami berhenti sekolah.
Sekarang, dengan kondisi adikku yang tidak lagi memiliki kaki, tidak banyak yang bisa dilakukan selain duduk diam di pantai. Ya, hanya di pantai Bayu bisa melanjutkan mimpinya. Bukan sebagai nelayan, tapi di pantailah sumber inspirasinya. Menulis. Tiap siang aku harus meninggalkannya di pantai dengan sebuah buku polos dan pulpen. Begitu malam menjelang, aku kembali menjemputnya dengan buku yang sudah penuh dengan coretan tangannya.
"Apa rental komputer masih buka, Kak?" Diantara deru hujan, samar aku mendengar suara Bayu.
Sebelum sampai di rumah, biasanya kami mampir ke tempat rental komputer untuk minta diketikkan tulisan tangannya dan langsung dikirim ke media. Besoknya kembali begitu. Meski belum ada satupun tulisannya yang dimuat media, tapi ia tidak pernah lelah. Dan semampuku, aku pun selalu menyemangatinya. Menulis bukan saja sekedar mengharap honor, tapi sudah seperti terapi yang menyenangkan.
"Sepertinya sudah tutup semua. Karena listrik juga mati." Balasku dengan kedua kaki terus mendayu sepeda.
Bayu, adik laki-lakiku. Lelaki tidak berkaki.

***
Masih pagi. Bahkan adzan subuh belum berkumandang. Aku memang sudah terbiasa bangun sepagi ini. Sholat tahajud, membaca Alqur’an, dan dilanjutkan sholat subuh.
Tapi tidak dengan Bayu. Ia selalu susah bangun sepagi ini. Biasanya ia bangun begitu adzan subuh berkumandang. Tapi entah mengapa pagi-pagi begini ia sudah mengambil wudhu. Perubahan yang baik, aku tidak perlu memperdebatkan.
"Usai sholat subuh, Kakak langsung ke rumah Bi Arum?" Bayu menatapku dari depan pintu kamar. Bi Arum adalah satu dari sekian tetangga yang menggunakan jasaku untuk mencuci pakaian keluarganya. Ada Bu Ira, Mbak Wati, dan beberapa warga lainnya. Tiap pagi. Dan sore, kadang malam, aku kembali menyetrika pakaian yang sudah kering di jemuran. Begitulah caraku sekarang untuk membiayai hidup kami yang masih terus berjalan, meski tanpa kedua orang tua.
"Iya. Kenapa?"
"Usai sholat subuh, Bayu minta diantar dulu ke pantai, bisa?"
"Kenapa sepagi ini?" Aku sangat mengkhawatirkan kondisi Bayu, satu-satunya saudara yang aku punya. Biasanya aku mengantarnya usai sholat dzuhur.
"Bayu ingin melihat nelayan kembali setelah semalaman melaut, Kak."
Aku tersenyum mengiyakan. Kekhawatiranku tidak beralasan memang.
"Kalau begitu, nanti kamu bawa ponsel ini, ya. Nanti sms saja Mpok Arum kalau kamu ingin pulang. Nanti Kakak jemput."
Ponsel peninggalan Ibu. Sempat terpikir untuk menjualnya dalam keadaan yang sangat sulit, tapi sampai sekarang aku masih bisa mempertahankannya. Banyak kebersamaan kami yang sempat diabadikan menggunakan kamera 1.3 megapixel  di ponsel ini.

***

Usai menyelesaikan cucian di rumah Bi Arum, aku berniat mengerjakan sholat dhuha terlebih dahulu, sebelum melanjutkan cucian ke rumah Mbak Wati. Dhuha adalah salah satu sholat sunnah yang aku suka selain sholat-sholat sunnah yang lainnya.
Do'anya begitu indah. Itu yang membuat aku mencintai sholat sunnah ini begitu pertama kali ibu mengenalkanku dengan keutamaan-keutamaan sholat dhuha.
Allahumma innadh dhuha-a dhuha-uka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal jamaala jamaaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata qudratuka, wal ishmata ishmatuka. allahuma inkaana rizqi fis samma-i fa anzilhu, wa inkaana fil ardhi fa-akhrijhu, wa inkaana muasaran fayassirhu, wainkaana haraaman fathahhirhu, wa inkaana baidan fa qaribhu, bihaqqiduhaa-ika wa bahaaika, wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatini maa ataita ibaadakash shalihin.
(Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Wahai Tuhanku, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh.)
Aamiin.
"Liz,"
Aku bergegas melipat mukena demi mendengar suara Bi Arum.
"Telepon dari Bayu." Lanjut Bi Arum sembari menyerahkan ponselnya ke arahku.
"Ya, Bayu, kenapa?"
"Kakak," Teriak Bayu dari seberang sana. Suaranya tidak seperti biasanya. "Kakak, Bayu, Bayu,... Tiiit ...." Tiba-tiba suara telepon terputus. Dan itu membuncahkan banyak kemungkinan buruk dalam kepalaku.
Ditunggu beberapa saat, tidak kunjung ada telepon balik. Sepertinya Bayu kehabisan pulsa. Aku tahu itu. Makanya tadi aku hanya minta Bayu sms saja kalau ada keperluan atau minta dijemput. Pulsa Bi Arum pun tidak mencukupi untuk melakukan panggilan.
Aku mengayuh pedal sepeda secepat mungkin menuju pantai, tempat aku mengantarkan Bayu tadi pagi, meninggalkan kekhawatiran yang juga begitu kental membias di wajah Bi Arum. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang terjadi dengannya. Aku tidak mau itu. Tidak mau kecemasan ini adalah firasat buruk.
Matahari kian meninggi, kakiku kian kencang mengayuh pedal sepeda, menguapkan lelah dan keringat yang membanjir. Tapi aku tidak peduli itu. Kekhawatiran ini mengalahkan rasa letihku. Yang ada dipikiranku sekarang hanya Bayu, Bayu, dan Bayu.
Begitu sampai di pantai, Bayu seperti menyadari kehadiranku. Aku bisa bernapas lega melihat senyum kegirangan yang menghias bibirnya.
"Kamu kenapa?" Aku menyandarkan sepeda di batang pohon kelapa yang sudah lama tidak berbuah. Pohonnya tinggi sekali.
Di bibir pantai, beberapa nelayan tengah sibuk menarik pukat ke daratan. Beberapa perempuan dan anak kecil juga sibuk memilih-milih ikan dalam jaringan pukat.
"Itu, Kak ...."
"Ngomong baik-baik. Jangan membuat panik, Kakak."
"Itu ..., Tadi aku dapat telepon dari Penerbit. Katanya, Naskah yang aku kirim satu bulan yang lalu itu akan diterbitkan."
"Kamu serius?" Aku menatap Bayu tidak percaya. Anggukannya membuatku seketika sujud syukur.
Aku kembali menatap wajah polos adikku, Bayu. Lama sekali. Usaha keras dan do'anya selama ini membuahkan berkah. Mimpinya untuk menjadi penulis kian dekat. Aku bangga memiliki seorang adik dengan segala keterbatasannya.
"Nanti kalau bukunya terbit, kita dapat uang, Kakak bisa melanjutkan sekolah."
"Kakak?" Aku kembali menatap Bayu, dalam. "Tidak. Perjalananmu masih panjang. Kamu yang harus sekolah. Kakak ingin melihat kamu sukses, jadi orang besar. Itu sudah cukup membuat Kakak senang."
"Tidak, Kak. Mimpiku hanya ingin menjadi penulis. Untuk menjadi penulis, aku bisa belajar dimana saja. Tidak harus di sekolah." Bayu menyentuh pipiku begitu menyadari ada buliran bening yang merembes di sana. "Kakak harus sekolah untuk mencapai mimpi Kakak menjadi Guru. Kita sukses sama-sama, Kak."
Aku memeluk Bayu dengan erat, demi mendengar ucapannya. Bayu begitu menyayangiku, sama seperti aku menyayanginya. Dengan segala keterbatasannya, ia tetap tahu kewajibannya sebagai seorang lelaki yang harus selalu melindungi saudara perempuannya. Lelakiku, lelaki tidak berkaki.
Kami menangis.
Lihatlah, kawan, roda kehidupan ternyata benar berputar, bukan? Hanya saja, kita sering tidak sabar ketika kita terlalu lama berada di bawah.

_end_


Tidak ada komentar:

Posting Komentar