Oleh : Zukril Yu
Aku makin mempercepat putaran pedal sepedaku. Di
tengah derunya hujan yang membungkam diam denyut nadi kota kecil ini. Bibirku
bergetar pucat, jemariku mengerucut hebat. Aku tidak perduli. Meski setajam
jarum ataupun sebesar balok es, hujan
ini menusuk-nusuk mukaku, aku tidak perduli. Bagaimanapun caranya, sepeda ontel
ini harus mengantarkanku ke bibir pantai. Sebelum senja terbunuh kelam. Sebelum
pasang menenggelamkan.
Petir menggelegar begitu aku melintasi jalan setapak
di tengah hutan pinus yang lebat. Sepi. Sangat sepi. Dibatas penglihatan, aku
melihat sosok bayang. Makin dekat kian terlihat. Seorang lelaki tidak berkaki,
berjalan menggunakan kedua tangan di pinggir jalan. Menggigil.
Kembali, petir menghujam sepi. Aku ketakutan. Tapi
rasa takut justru makin mempercepat ayunan kakiku pada pedal sepeda. Sosok itu
kian jelas meski hujan makin deras dan kelam kian pekat.
"Bayu, maafkan Kakak telat menjemput."
Ucapku lirih begitu sudah ada didekatnya. Aku memeluknya erat. Lelaki tidak
berkaki, lelakiku ... adikku satu-satunya.
"Nggak apa-apa, Kak." Bayu mengusap lembut
mukanya yang basah.
Aku bantu Bayu menaiki jok belakang sepeda ontelku.
Aku kembali mengayuh pelan. Pulang. Dialah Adikku, satu-satunya saudara yang
aku punya. Sejak kecelakaan satu tahun silam, kami tidak saja kehilangan kedua
orang tua yang sangat kami cintai, tetapi Adikku juga harus merelakan kedua
kakinya. Waktu itu, mini bus yang ditumpangi bapak, ibu, juga Bayu yang
hendak menuju kota kabupaten, jatuh ke dalam jurang.
Saat itulah semua berubah. Kehidupan yang awalnya
baik-baik saja, tidak lagi baik-baik saja. Sosok seorang bapak dan seorang ibu
yang selalu melindungi anak-anaknya, menjaga, menyayangi, mendidik, memberi
petuah, sekarang tidak lagi ada. Mereka sudah tenang di kampung halaman yang
jauh di negeri Tuhan.
Tapi kehidupan harus tetap berjalan, bukan? Meskipun
hanya aku dan Bayu yang tertinggal.
Aku yang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah,
tidaklah bisa menjadi dewasa seutuhnya. Aku tidak bisa mempertahankan kehidupan
berjalan seperti sebelumnya, seperti ketika bapak dan ibu masih hidup. Yang
bisa aku lakukan dalam keberpura-puraaan kedewasaanku hanyalah mencari makan
dan makan. Hanya itu! Aku tidak bisa melanjutkan mimpiku dan mimpi adikku untuk
menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya. Keadaan memaksa kami berhenti
sekolah.
Sekarang, dengan kondisi adikku yang tidak lagi
memiliki kaki, tidak banyak yang bisa dilakukan selain duduk diam di pantai.
Ya, hanya di pantai Bayu bisa melanjutkan mimpinya. Bukan sebagai nelayan, tapi
di pantailah sumber inspirasinya. Menulis. Tiap siang aku harus meninggalkannya
di pantai dengan sebuah buku polos dan pulpen. Begitu malam menjelang, aku
kembali menjemputnya dengan buku yang sudah penuh dengan coretan tangannya.
"Apa rental komputer masih buka, Kak?"
Diantara deru hujan, samar aku mendengar suara Bayu.
Sebelum sampai di rumah, biasanya kami mampir ke
tempat rental komputer untuk minta diketikkan tulisan tangannya dan langsung dikirim
ke media. Besoknya kembali begitu. Meski belum ada satupun tulisannya yang
dimuat media, tapi ia tidak pernah lelah. Dan semampuku, aku pun selalu
menyemangatinya. Menulis bukan saja sekedar mengharap honor, tapi sudah seperti
terapi yang menyenangkan.
"Sepertinya sudah tutup semua. Karena
listrik juga mati." Balasku dengan kedua kaki terus mendayu sepeda.
Bayu, adik laki-lakiku. Lelaki tidak berkaki.
***
Masih pagi. Bahkan adzan subuh belum berkumandang.
Aku memang sudah terbiasa bangun sepagi ini. Sholat tahajud, membaca Alqur’an,
dan dilanjutkan sholat subuh.
Tapi tidak dengan Bayu. Ia selalu susah bangun
sepagi ini. Biasanya ia bangun begitu adzan subuh berkumandang. Tapi entah
mengapa pagi-pagi begini ia sudah mengambil wudhu. Perubahan yang baik, aku
tidak perlu memperdebatkan.
"Usai sholat subuh, Kakak langsung ke rumah
Bi Arum?" Bayu menatapku dari depan pintu kamar. Bi Arum adalah satu dari sekian tetangga yang
menggunakan jasaku untuk mencuci pakaian keluarganya. Ada Bu Ira, Mbak Wati,
dan beberapa warga lainnya. Tiap pagi. Dan sore, kadang malam, aku kembali
menyetrika pakaian yang sudah kering di jemuran. Begitulah caraku sekarang
untuk membiayai hidup kami yang masih terus berjalan, meski tanpa kedua orang
tua.
"Iya. Kenapa?"
"Usai sholat subuh, Bayu minta diantar dulu ke
pantai, bisa?"
"Kenapa sepagi ini?" Aku sangat
mengkhawatirkan kondisi Bayu, satu-satunya saudara yang aku punya. Biasanya aku
mengantarnya usai sholat dzuhur.
"Bayu ingin melihat nelayan kembali setelah
semalaman melaut, Kak."
Aku tersenyum mengiyakan. Kekhawatiranku tidak beralasan memang.
"Kalau begitu, nanti kamu bawa ponsel ini, ya.
Nanti sms saja Mpok Arum kalau kamu
ingin pulang. Nanti Kakak jemput."
Ponsel peninggalan Ibu. Sempat terpikir untuk
menjualnya dalam keadaan yang sangat sulit, tapi sampai sekarang aku masih bisa
mempertahankannya. Banyak kebersamaan kami yang sempat diabadikan menggunakan kamera
1.3 megapixel di ponsel ini.
***
Usai menyelesaikan cucian di rumah Bi Arum, aku
berniat mengerjakan sholat dhuha terlebih dahulu, sebelum melanjutkan cucian ke
rumah Mbak Wati. Dhuha adalah salah satu sholat sunnah yang aku suka selain
sholat-sholat sunnah yang lainnya.
Do'anya begitu indah. Itu yang membuat aku mencintai
sholat sunnah ini begitu pertama kali ibu mengenalkanku dengan
keutamaan-keutamaan sholat dhuha.
Allahumma innadh
dhuha-a dhuha-uka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal jamaala jamaaluka, wal quwwata
quwwatuka, wal qudrata qudratuka, wal ishmata ishmatuka. allahuma inkaana rizqi
fis samma-i fa anzilhu, wa inkaana fil ardhi fa-akhrijhu, wa inkaana mu’asaran
fayassirhu, wainkaana haraaman fathahhirhu, wa inkaana ba’idan
fa qaribhu, bihaqqiduhaa-ika wa bahaaika, wa jamaalika wa quwwatika wa
qudratika, aatini maa ataita ‘ibaadakash shalihin.
(“Wahai
Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah
keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu,
penjagaan adalah penjagaan-Mu, Wahai Tuhanku, apabila rezekiku berada di atas
langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah,
apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah
dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku
apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh.”)
Aamiin.
"Liz,"
Aku bergegas melipat mukena demi mendengar suara
Bi Arum.
"Telepon dari Bayu." Lanjut Bi Arum sembari
menyerahkan ponselnya ke arahku.
"Ya, Bayu, kenapa?"
"Kakak," Teriak Bayu dari seberang sana.
Suaranya tidak seperti biasanya. "Kakak, Bayu, Bayu,... Tiiit ...."
Tiba-tiba suara telepon terputus. Dan itu membuncahkan banyak kemungkinan buruk
dalam kepalaku.
Ditunggu beberapa saat, tidak kunjung ada telepon
balik. Sepertinya Bayu kehabisan pulsa. Aku tahu itu. Makanya tadi aku hanya
minta Bayu sms saja kalau ada
keperluan atau minta dijemput. Pulsa Bi Arum pun tidak mencukupi untuk
melakukan panggilan.
Aku mengayuh pedal sepeda secepat mungkin menuju
pantai, tempat aku mengantarkan Bayu tadi pagi, meninggalkan kekhawatiran yang
juga begitu kental membias di wajah Bi Arum. Firasatku mengatakan ada sesuatu
yang terjadi dengannya. Aku tidak mau itu. Tidak mau kecemasan ini adalah
firasat buruk.
Matahari kian meninggi, kakiku kian kencang mengayuh
pedal sepeda, menguapkan lelah dan keringat yang membanjir. Tapi aku tidak
peduli itu. Kekhawatiran ini mengalahkan rasa letihku. Yang ada dipikiranku
sekarang hanya Bayu, Bayu, dan Bayu.
Begitu sampai di pantai, Bayu seperti menyadari
kehadiranku. Aku bisa bernapas lega melihat senyum kegirangan yang menghias bibirnya.
"Kamu kenapa?" Aku menyandarkan sepeda di
batang pohon kelapa yang sudah lama tidak berbuah. Pohonnya tinggi sekali.
Di bibir pantai, beberapa nelayan tengah sibuk
menarik pukat ke daratan. Beberapa perempuan dan anak kecil juga sibuk
memilih-milih ikan dalam jaringan pukat.
"Itu, Kak ...."
"Ngomong baik-baik. Jangan membuat panik,
Kakak."
"Itu ..., Tadi aku dapat telepon dari Penerbit.
Katanya, Naskah yang aku kirim satu bulan yang lalu itu akan diterbitkan."
"Kamu serius?" Aku menatap Bayu tidak
percaya. Anggukannya membuatku seketika sujud syukur.
Aku kembali menatap wajah polos adikku, Bayu. Lama
sekali. Usaha keras dan do'anya selama ini membuahkan berkah. Mimpinya untuk
menjadi penulis kian dekat. Aku bangga memiliki seorang adik dengan segala
keterbatasannya.
"Nanti kalau bukunya terbit, kita dapat uang,
Kakak bisa melanjutkan sekolah."
"Kakak?" Aku kembali menatap Bayu, dalam.
"Tidak. Perjalananmu masih panjang. Kamu yang harus sekolah. Kakak ingin
melihat kamu sukses, jadi orang besar. Itu sudah cukup membuat Kakak
senang."
"Tidak, Kak. Mimpiku hanya ingin menjadi penulis. Untuk menjadi penulis, aku bisa belajar dimana saja. Tidak harus di
sekolah." Bayu menyentuh pipiku begitu menyadari ada buliran bening yang
merembes di sana. "Kakak harus sekolah untuk mencapai mimpi Kakak menjadi
Guru. Kita sukses sama-sama, Kak."
Aku memeluk Bayu dengan erat, demi mendengar ucapannya.
Bayu begitu menyayangiku, sama seperti aku menyayanginya. Dengan segala
keterbatasannya, ia tetap tahu kewajibannya sebagai seorang lelaki yang harus
selalu melindungi saudara perempuannya. Lelakiku, lelaki tidak berkaki.
Kami menangis.
Lihatlah, kawan, roda kehidupan ternyata benar
berputar, bukan? Hanya saja, kita sering tidak sabar ketika kita terlalu lama
berada di bawah.
_end_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar