Oleh : Zukril Yu
Aku makin mempercepat putaran pedal sepedaku. Di
tengah derunya hujan yang membungkam diam denyut nadi kota kecil ini. Bibirku
bergetar pucat, jemariku mengerucut hebat. Aku tidak perduli. Meski setajam
jarum ataupun sebesar balok es, hujan
ini menusuk-nusuk mukaku, aku tidak perduli. Bagaimanapun caranya, sepeda ontel
ini harus mengantarkanku ke bibir pantai. Sebelum senja terbunuh kelam. Sebelum
pasang menenggelamkan.
Petir menggelegar begitu aku melintasi jalan setapak
di tengah hutan pinus yang lebat. Sepi. Sangat sepi. Dibatas penglihatan, aku
melihat sosok bayang. Makin dekat kian terlihat. Seorang lelaki tidak berkaki,
berjalan menggunakan kedua tangan di pinggir jalan. Menggigil.
Kembali, petir menghujam sepi. Aku ketakutan. Tapi
rasa takut justru makin mempercepat ayunan kakiku pada pedal sepeda. Sosok itu
kian jelas meski hujan makin deras dan kelam kian pekat.