Selasa, 30 Mei 2017

Cerpen: Sampai Berjumpa Lagi, Ibu





Oleh    : Zukril Yu
Dimuat di Tanjung Pinang Pos, 31 Juli 2016 

"Jadi, kapan kau menikah?"
Dulu aku selalu menelan ludah menahan getir tiap kali mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang bukan saja mengandung makna perhatian, kasih sayang, sekaligus juga ledekan. Kalau di tanah kelahiran, aku sudah dikatakan bujang lapuk. Sekalipun usiaku belum bisa dikatakan kepala tiga, kurang beberapa hari. Begitulah, di kampungku, laki-laki berusia dua puluh tahun sudah berani meminang anak gadis orang, meskipun belum ada pekerjaan.

Tapi tidak dengan Ibu. Pertanyaan itu selalu diucapkan dengan sangat hati-hati.
"Kapan Ibu siap melamarnya untukku?" Jawabku dengan tarikan bibir membentuk senyum kemenangan. Ibu pasti tidak bisa melihat bias bahagiaku, tapi dari seberang telepon sana setidaknya beliau bisa merasakan rasaku.
"Kamu sudah punya calon?" Kalimat ibu memburu, ingin tahu. Ada nada senang yang aku dengar, dan berharap anaknya ini mengiyakan harapannya.
Lagi-lagi aku tersenyum. Bangga. Gadis itu, gadis yang entah seperti apapun rupanya, ibu tidak pernah peduli. Ibu hanya ingin aku segera menikah dengan gadis baik-baik, se-iman, tahu bagaimana bersikap, bisa menerima keluarga seperti penerimaannya padaku. "Bukan saja istri untukmu, tapi juga menantu untuk Ibu dan Bapak. Ipar untuk saudaramu, dan tante untuk ponakanmu." Begitu kata Ibu. Dahulu.
"Namanya Mirah. Teman sekantorku." Jelasku tanpa bisa mengibas pemilik senyum lembut itu yang langsung menghampiri isi kepalaku.
"Namanya cantik sekali." Jawab Ibu. Dan dengan semangatnya beliau melanjutkan, "dua minggu lagi, usai lebaran ibu akan melamarnya untukmu. Ibu akan memberi tahu ayahmu untuk mempersiapkan kelapa, kayu bakar, gabah yang harus dijemur sebelum digiling menjadi beras, minyak goreng, dan apapun akan ibu persiapkan segera."
"Aku juga sudah menyiapkan cuti lebaran, Bu. Minggu depan aku akan pulang. Aku akan kasih tahu seperti apa gadis yang menjadi pilihanku di idul fitri nanti." Aku menimpali, setelah lebaran sebelumnya tidak bisa merayakan bersama ayah, ibu dan keluarga kecil kakakku di kampung karena tidak mendapatkan cuti lebaran. Ketika itu aku masih dalam masa percobaan sebagai karyawan baru di sebuah bank swasta, tempatku bekerja sekarang.
"Ah, Ibu sangat senang mendengar kabar ini."
Kalau benar, barangkali ini adalah kali kedua aku membuat ibu bahagia. Pertama, sekitar satu setengah tahun yang lalu ketika aku tiba-tiba meminta ibu dan ayah datang ke kota untuk menghadiri acara wisudaku. Jelas saja awalnya mereka berpikir bahwa apa yang aku katakan adalah lelucon. Karena mereka tidak pernah tahu bahwa aku kuliah. Bahkan mereka menimpali supaya aku berhenti bermimpi menjadi seorang komedian.
"Bu," panggilku. "Tiga hari lagi aku ulang tahun."
Ibu terkekeh mendengarku. "Sejak kapan kamu ulang tahun, Nak? Ada-ada saja. Anak buruh tani kok pakai ulang tahun."
Aku juga tertawa, barangkali ibu lupa bahwa anaknya ini sekarang sudah sarjana. Ah, ibu selalu saja berpikir bahwa aku ini adalah bocah laki-lakinya yang kucel, yang hari-hari berteman gembala di tengah padang, yang suka berteriak senang dari pematang sawah ketika berhasil menangkap seekor belut yang licin, atau yang masih suka berteriak ketakutan tiap kali ada lintah penghisap darah yang menempel di kakiku. Boro-boro meniup lilin di atas kue tart dan mengundang teman-teman untuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun, membeli minyak goreng dan kebutuhan harian lain saja tak jarang harus menundukan kepala menerima omelan Bu Risma, pemilik warung, karena keseringan ngutang. Jadi, sejak kapan aku ulang tahun? Iya, sejak kapan? Di usia ke tiga puluh tahun ini, sekalipun aku tidak pernah merayakan ulang tahun. Tanggal lahir terlewati begitu saja. Hidup menuntut bahwa setiap desahan napas adalah perjuangan. Jadi, sejak kapan aku ulang tahun?
"Entahlah, Bu. Mungkin karena ini kali pertama tanggal lahirku dalam bulan ramadhan. Jadi aku merasa sangat spesial."
"Ulang tahun di dalam bulan ramadhan, semoga Allah SWT menyiapkan kado terindah untukmu, Nak."
Aku tersenyum samar. Pernikahan! Ya, Mirah adalah kado ulang tahunku dari Tuhan.

***

Travel yang aku tumpangi berjalan dengan kecepatan yang sangat cepat. Tapi, aku masih saja berharap mobil ini berlari lebih cepat lagi. Perjalanan dari kota ke kampung membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dan selama sepuluh jam perjalanan itu wajah ibu membias pekat di pikiranku. Aku harus mempercepat jadwal pulang kampung dari cuti yang sudah aku ajukan.
"Ibumu sakit. Terjatuh ketika mengambil wudhu di sumur."
Aku yang baru saja selesai makan sahur, meletakkan begitu saja piring kotor di tempat cucian ketika mendengar suara ayah di seberang telepon. Ini bukan kali pertama ibu sakit, tapi entah bagaimana bisa bahwa kekhawatiranku kali ini terlalu berlebihan.
Sakit ibu ternyata memang biasa saja. Ketika aku memasuki rumah, ibu tengah duduk bersandar di kursi rotan. Wajah ibu agak pucat, namun tarikan bibir ke atas itu membuat beliau terlihat lebih cantik ketika aku menyalami dan mencium kedua tangannya. Baru aku sadar bahwa ternyata ibu memiliki mata cokelat yang sangat indah.
"Ibu dirawat di rumah sakit saja, ya."
"Terserah kamu. Ibu ikut saja."
"Kalau begitu, besok pagi kita berangkat."
"Kamu sudah berbuka puasa?"
Aku mengangguk, "sudah, tadi dengan segelas air putih."
"Ibu gorengkan ikan asin dan buatkan sambal belacan kesukaanmu."
"Ibu sedang sakit. Istirahat saja." Leraiku. Meskipun masakan ibu membuatku ngiler. Tapi aku tidak mungkin tega membiarkan ibu memasak di dapur. Dan lebih tidak tega lagi kalau aku harus mendebat ketika ibu memaksakan diri berdiri, berjalan menuju tungku di dapur.
"Bagaimana dengan Kak Ranti, Yah? Apa Kak Ranti tahu kalau ibu sakit?"
Ayah meneguk habis teh manis yang ada di depannya sebelum menjawab pertanyaanku. Setahun lebih sudah aku tidak bertemu ayah, dan dengan pencahayaan lampu teplok yang temaran, aku bisa melihat dengan jelas guratan letih di wajah tuanya. Kulitnya yang hitam legam terbakar matahari. Tubuh itu semakin ringkih.
"Ayah belum ada mengabari," jawab ayah. "Selain karena Ayah tidak mau menambah beban pikiran kakakmu itu, ayah juga segan sering-sering meminjam telepon Bu Risma."
"Sebaiknya memang begitu. Kasihan Kak Ranti."
Pikiranku menerawang. Sudah lama sekali aku tidak bertemu Kak Ranti, sejak menikah dan diboyong suaminya yang bekerja di perkebunan kelapa sawit.

***

Dokter memvonis ada infeksi pada lambung ibu. Tidak terlalu menghawatirkan. Karena beberapa jam setelah ibu minum obat dan tubuh tua itu dialiri cairan infuse, kondisi beliau makin membaik.
"Apa gadismu itu akan membesuk ibu ke sini?" tanya ibu ketika aku menyuapi beliau makan malam. Makanan dari rumah sakit.
Aku meraih gelas berisi minuman mineral, dan membantu ibu agar lebih mudah meneguknya.
"Mungkin besok Mirah ke sini. Hari ini ia kerja lembur." Jawabku, dan kembali menyuapi ibu. "Ayah tidur di kontrakan saja." Aku menatap wajah letih ayah, "biar Nazil saja yang jagain ibu sampai pagi."
Aku kembali ke rumah sakit pukul sembilan lewat sepuluh menit, setelah mengantarkan ayah pulang ke kontrakan setelah sebelumnya ngobrol seraya menikmati makan malam di warteg di pinggir jalan. Sudah lama sekali aku tidak menikmati momen seperti ini bersama ayah. Terakhir, ketika aku wisuda.
"Maafkan Ayah tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu." Ucap ayah waktu itu, menyesal pada ketidakmampuannya sebagai buruh tani. Dua tahun membantu ayah di sawah selepas memakai seragam putih abu-abu, aku merantau ke kota dan bekerja sebagai cleaning service di sebuah pusat perkantoran. Mimpi yang terlalu tinggi, membuatku nekat kuliah mengambil kelas malam. Memaksakan diri dengan waktu dan penghasilan sebagai cleaning service untuk biaya hidup dan biaya di kampus. Ah, empat setengah tahun bukan waktu yang singkat, meski tertatih tapi perjuangan itu akhirnya menuai hasil.
Aku menatap ayah lekat-lekat. "Aku sangat paham bagaimana kondisi Ayah, kondisi keluarga kita. Sedikitpun aku tidak pernah merasa berkecil hati ataupun menyesal terlahir dalam keluarga ini. Sebaliknya, justru sangat bersyukur. Sekalipun Ayah tidak bisa membiayai kuliah, sampai SMU pun sudah sangat berterima kasih. Jadi, jangan pernah Ayah berpikir gagal sebagai orang tua."
Ayah mendekapku dalam pelukan erat. Meskipun tidak ada air mata, tapi aku sangat yakin bahwa ayah bersusah payah menahan diri untuk tidak menangis.
"Bagaimana ayahmu?" Tanya ibu begitu aku kembali ke rumah sakit.
Aku menarik selimut menutupi tubuh ibu hingga dada. "Ibu jangan khawatir. Ayah tidak sendirian, ada Hafiz di kontrakanku."
Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri seraya menahan kantuk yang mendera. Wajar saja, sudah malam. Sepuluh menit lagi tepat pukul sebelas. Setelah ibu tertidur, aku yang duduk di kursi plastik warna putih, menekuk kepalaku di atas ranjang di sebelah kanan ibu. Tidak berapa lama, aku terbangun demi mendengar suara dengkuran itu.
"Ibu kenapa?" Tanyaku. Ibu tidak menyahut. Yang ada justru dengkuran beliau semakin jelas terdengar.
Aku segera memanggil suster.
"Kenapa, Sus?" Tanyaku khawatir melihat kepanikan perempuan berjilbab yang senada dengan warna seragam putihnya.
"Coba tangan kiri." Ucapnya, mengabaikanku, seraya melepas alat pengukur tensi yang tadi di pasang di tangan kanan ibu.
"Loh, apa bedanya. Bukannya tangan kiri atau tangan kanan sama saja. Sama-sama bisa dilakukan pengecekan tensi?"
"Seharusnya. Tapi saya tidak bisa mendeteksi." Suster itu makin panik, ia segera meminta bantuan temannya yang juga diikuti oleh datangnya dokter penjaga malam.
Berbagai kemungkinan terburuk bersiliweran di kepalaku. Apa lagi melihat kondisi ibu yang tidak lagi bisa aku ajak berkomunikasi.
"Sabar ya, Pak. Bantu dengan do’a." Ucap suster yang baru datang tadi seraya berusaha menekan dada ibu untuk membantu pernapasan.
Secepatnya aku mendekatkan mulut ke telinga ibu dan membimbing beliau mengucapkan dua kalimat syahadat. Meskipun tidak ada suara yang keluar daru mulut ibu, aku percaya beliau mengikutiku.
Aku tersungkur. Nyaris tidak mempercayai apa yang terjadi ketika dokter mengatakan bahwa ibu telah pergi untuk selama-lamanya. Tidak ada kata yang bisa mewakili kesedihan dan ketidaksiapanku akan kehilangan ibu selain air mata. Kata-kata 'sabar' yang terucap berulang kali dari bibir suster dan dokter, benar-benar tidak lagi memiliki makna. Aku terus menangis dan memaksa dokter segera meralat bahwa apa yang diucapkannya bohong.
"Pastikan lagi, Dok." Erangku, meminta dokter itu untuk kembali memastikan bahwa ibu benar-benar sudah tidak ada. Tapi, wajah dokter itu terlalu berduka jika aku terus-terusan mengatakan bahwa ia tengah bercanda.
Aku lelah. Aku tidak lagi memiliki tenaga seiring air mata yang mulai mengering. Aku berdiri dan mencium wajah ibu yang dingin. Ibu memang sudah pergi dengan tenang.
Selamat jalan, Bu. Ini hari baik. Bulan ramadhan. 20 juli, tiga puluh tahun yang lalu Ibu memberikan kehidupan pada anakmu ini. Sekarang, tepat pada tanggal 20 juli 2014 pukul 00:15 ibu pergi dengan tenang.
Ya Allah, entah ini kado dari-Mu untuk ulang tahunku yang ke-30 atau apalah namanya, hamba mengikhlaskan perempuan hebat ini pada-Mu. Tempatkan ibu dalam surga-Mu. Kelak hamba akan menyusul. Di sanalah kebersamaan itu akan abadi.
Sampai kita berjumpa lagi, Bu. Tunggu aku di Jannah.

***

Tadi subuh aku memergoki ayah menangis di atas sajadah. Ini adalah kali kedua aku melihat air mata laki-laki hebat itu. Sebelumnya, beberapa saat setelah ibu menghembuskan napas terakhir. Siangnya aku mengajak ayah ke pemakaman, membaca surat yasin sampai dzuhur.
Selamat istirahat, Bu. Surga Allah SWT adalah tempat yang layak untuk perempuan hebat sepertimu.
_end_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar