Oleh : Zukril Yu
Dimuat di Tanjung Pinang Pos, 31 Juli 2016
"Jadi, kapan kau menikah?"
Dulu aku selalu menelan ludah menahan getir tiap
kali mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang bukan saja mengandung makna
perhatian, kasih sayang, sekaligus juga ledekan. Kalau di tanah kelahiran, aku
sudah dikatakan bujang lapuk. Sekalipun
usiaku belum bisa dikatakan kepala tiga, kurang beberapa hari. Begitulah, di
kampungku, laki-laki berusia dua puluh tahun sudah berani meminang anak gadis
orang, meskipun belum ada pekerjaan.
Tapi tidak dengan Ibu. Pertanyaan itu selalu
diucapkan dengan sangat hati-hati.
"Kapan Ibu siap melamarnya untukku?"
Jawabku dengan tarikan bibir membentuk senyum kemenangan. Ibu pasti tidak bisa
melihat bias bahagiaku, tapi dari seberang telepon sana setidaknya beliau bisa
merasakan rasaku.
"Kamu sudah punya calon?" Kalimat ibu
memburu, ingin tahu. Ada nada senang yang aku dengar, dan berharap anaknya ini
mengiyakan harapannya.
Lagi-lagi aku tersenyum. Bangga. Gadis itu, gadis
yang entah seperti apapun rupanya, ibu tidak pernah peduli. Ibu hanya ingin aku
segera menikah dengan gadis baik-baik, se-iman, tahu bagaimana bersikap, bisa
menerima keluarga seperti penerimaannya padaku. "Bukan saja istri untukmu,
tapi juga menantu untuk Ibu dan Bapak. Ipar untuk saudaramu, dan tante untuk
ponakanmu." Begitu kata Ibu. Dahulu.
"Namanya Mirah. Teman sekantorku." Jelasku
tanpa bisa mengibas pemilik senyum lembut itu yang langsung menghampiri isi
kepalaku.
"Namanya cantik sekali." Jawab Ibu. Dan
dengan semangatnya beliau melanjutkan, "dua minggu lagi, usai lebaran ibu
akan melamarnya untukmu. Ibu akan memberi tahu ayahmu untuk mempersiapkan
kelapa, kayu bakar, gabah yang harus dijemur sebelum digiling menjadi beras,
minyak goreng, dan apapun akan ibu persiapkan segera."
"Aku juga sudah menyiapkan cuti lebaran, Bu.
Minggu depan aku akan pulang. Aku akan kasih tahu seperti apa gadis yang
menjadi pilihanku di idul fitri nanti." Aku menimpali, setelah lebaran
sebelumnya tidak bisa merayakan bersama ayah, ibu dan keluarga kecil kakakku di
kampung karena tidak mendapatkan cuti lebaran. Ketika itu aku masih dalam masa
percobaan sebagai karyawan baru di sebuah bank swasta, tempatku bekerja
sekarang.
"Ah, Ibu sangat senang mendengar kabar
ini."
Kalau benar, barangkali ini adalah kali kedua aku
membuat ibu bahagia. Pertama, sekitar satu setengah tahun yang lalu ketika aku
tiba-tiba meminta ibu dan ayah datang ke kota untuk menghadiri acara wisudaku.
Jelas saja awalnya mereka berpikir bahwa apa yang aku katakan adalah lelucon.
Karena mereka tidak pernah tahu bahwa aku kuliah. Bahkan mereka menimpali
supaya aku berhenti bermimpi menjadi seorang komedian.
"Bu," panggilku. "Tiga hari lagi aku
ulang tahun."
Ibu terkekeh mendengarku. "Sejak kapan kamu
ulang tahun, Nak? Ada-ada saja. Anak buruh tani kok pakai ulang tahun."
Aku juga tertawa, barangkali ibu lupa bahwa anaknya
ini sekarang sudah sarjana. Ah, ibu selalu saja berpikir bahwa aku ini adalah
bocah laki-lakinya yang kucel, yang hari-hari berteman gembala di tengah
padang, yang suka berteriak senang dari pematang sawah ketika berhasil
menangkap seekor belut yang licin, atau yang masih suka berteriak ketakutan
tiap kali ada lintah penghisap darah yang menempel di kakiku. Boro-boro meniup
lilin di atas kue tart dan mengundang
teman-teman untuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun, membeli minyak goreng
dan kebutuhan harian lain saja tak jarang harus menundukan kepala menerima
omelan Bu Risma, pemilik warung, karena keseringan ngutang. Jadi, sejak kapan
aku ulang tahun? Iya, sejak kapan? Di usia ke tiga puluh tahun ini, sekalipun
aku tidak pernah merayakan ulang tahun. Tanggal lahir terlewati begitu saja.
Hidup menuntut bahwa setiap desahan napas adalah perjuangan. Jadi, sejak kapan
aku ulang tahun?
"Entahlah, Bu. Mungkin karena ini kali pertama
tanggal lahirku dalam bulan ramadhan. Jadi aku merasa sangat spesial."
"Ulang tahun di dalam bulan ramadhan, semoga
Allah SWT menyiapkan kado terindah untukmu, Nak."
Aku tersenyum samar. Pernikahan! Ya, Mirah adalah
kado ulang tahunku dari Tuhan.
***
Travel yang aku tumpangi berjalan dengan kecepatan
yang sangat cepat. Tapi, aku masih saja berharap mobil ini berlari lebih cepat
lagi. Perjalanan dari kota ke kampung membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Dan selama sepuluh jam perjalanan itu wajah ibu membias pekat di pikiranku. Aku
harus mempercepat jadwal pulang kampung dari cuti yang sudah aku ajukan.
"Ibumu sakit. Terjatuh ketika mengambil wudhu
di sumur."
Aku yang baru saja selesai makan sahur, meletakkan
begitu saja piring kotor di tempat cucian ketika mendengar suara ayah di
seberang telepon. Ini bukan kali pertama ibu sakit, tapi entah bagaimana bisa
bahwa kekhawatiranku kali ini terlalu berlebihan.
Sakit ibu ternyata memang biasa saja. Ketika aku
memasuki rumah, ibu tengah duduk bersandar di kursi rotan. Wajah ibu agak
pucat, namun tarikan bibir ke atas itu membuat beliau terlihat lebih cantik
ketika aku menyalami dan mencium kedua tangannya. Baru aku sadar bahwa ternyata
ibu memiliki mata cokelat yang sangat indah.
"Ibu dirawat di rumah sakit saja, ya."
"Terserah kamu. Ibu ikut saja."
"Kalau begitu, besok pagi kita berangkat."
"Kamu sudah berbuka puasa?"
Aku mengangguk, "sudah, tadi dengan segelas air
putih."
"Ibu gorengkan ikan asin dan buatkan sambal
belacan kesukaanmu."
"Ibu sedang sakit. Istirahat saja."
Leraiku. Meskipun masakan ibu membuatku ngiler. Tapi aku tidak mungkin tega
membiarkan ibu memasak di dapur. Dan lebih tidak tega lagi kalau aku harus
mendebat ketika ibu memaksakan diri berdiri, berjalan menuju tungku di dapur.
"Bagaimana dengan Kak Ranti, Yah? Apa Kak Ranti
tahu kalau ibu sakit?"
Ayah meneguk habis teh manis yang ada di depannya
sebelum menjawab pertanyaanku. Setahun lebih sudah aku tidak bertemu ayah, dan
dengan pencahayaan lampu teplok yang temaran, aku bisa melihat dengan jelas
guratan letih di wajah tuanya. Kulitnya yang hitam legam terbakar matahari.
Tubuh itu semakin ringkih.
"Ayah belum ada mengabari," jawab ayah.
"Selain karena Ayah tidak mau menambah beban pikiran kakakmu itu, ayah
juga segan sering-sering meminjam telepon Bu Risma."
"Sebaiknya memang begitu. Kasihan Kak Ranti."
Pikiranku menerawang. Sudah lama sekali aku tidak
bertemu Kak Ranti, sejak menikah dan diboyong suaminya yang bekerja di
perkebunan kelapa sawit.
***
Dokter memvonis ada infeksi pada lambung ibu. Tidak
terlalu menghawatirkan. Karena beberapa jam setelah ibu minum obat dan tubuh
tua itu dialiri cairan infuse, kondisi beliau makin membaik.
"Apa gadismu itu akan membesuk ibu ke
sini?" tanya ibu ketika aku menyuapi beliau makan malam. Makanan dari
rumah sakit.
Aku meraih gelas berisi minuman mineral, dan
membantu ibu agar lebih mudah meneguknya.
"Mungkin besok Mirah ke sini. Hari ini ia kerja
lembur." Jawabku, dan kembali menyuapi ibu. "Ayah tidur di kontrakan
saja." Aku menatap wajah letih ayah, "biar Nazil saja yang jagain ibu
sampai pagi."
Aku kembali ke rumah sakit pukul sembilan lewat
sepuluh menit, setelah mengantarkan ayah pulang ke kontrakan setelah sebelumnya
ngobrol seraya menikmati makan malam di warteg di pinggir jalan. Sudah lama
sekali aku tidak menikmati momen seperti ini bersama ayah. Terakhir, ketika aku
wisuda.
"Maafkan Ayah tidak bisa memberikan yang
terbaik untukmu." Ucap ayah waktu itu, menyesal pada ketidakmampuannya
sebagai buruh tani. Dua tahun membantu ayah di sawah selepas memakai seragam
putih abu-abu, aku merantau ke kota dan bekerja sebagai cleaning service di sebuah pusat perkantoran. Mimpi yang terlalu
tinggi, membuatku nekat kuliah mengambil kelas malam. Memaksakan diri dengan
waktu dan penghasilan sebagai cleaning
service untuk biaya hidup dan biaya di kampus. Ah, empat setengah tahun
bukan waktu yang singkat, meski tertatih tapi perjuangan itu akhirnya menuai
hasil.
Aku menatap ayah lekat-lekat. "Aku sangat paham
bagaimana kondisi Ayah, kondisi keluarga kita. Sedikitpun aku tidak pernah
merasa berkecil hati ataupun menyesal terlahir dalam keluarga ini. Sebaliknya,
justru sangat bersyukur. Sekalipun Ayah tidak bisa membiayai kuliah, sampai SMU
pun sudah sangat berterima kasih. Jadi, jangan pernah Ayah berpikir gagal
sebagai orang tua."
Ayah mendekapku dalam pelukan erat. Meskipun tidak
ada air mata, tapi aku sangat yakin bahwa ayah bersusah payah menahan diri
untuk tidak menangis.
"Bagaimana ayahmu?" Tanya ibu begitu aku
kembali ke rumah sakit.
Aku menarik selimut menutupi tubuh ibu hingga dada.
"Ibu jangan khawatir. Ayah tidak sendirian, ada Hafiz di
kontrakanku."
Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri seraya
menahan kantuk yang mendera. Wajar saja, sudah malam. Sepuluh menit lagi tepat
pukul sebelas. Setelah ibu tertidur, aku yang duduk di kursi plastik warna
putih, menekuk kepalaku di atas ranjang di sebelah kanan ibu. Tidak berapa
lama, aku terbangun demi mendengar suara dengkuran itu.
"Ibu kenapa?" Tanyaku. Ibu tidak menyahut.
Yang ada justru dengkuran beliau semakin jelas terdengar.
Aku segera memanggil suster.
"Kenapa, Sus?" Tanyaku khawatir melihat
kepanikan perempuan berjilbab yang senada dengan warna seragam putihnya.
"Coba tangan kiri." Ucapnya,
mengabaikanku, seraya melepas alat pengukur tensi yang tadi di pasang di tangan
kanan ibu.
"Loh, apa bedanya. Bukannya tangan kiri atau
tangan kanan sama saja. Sama-sama bisa dilakukan pengecekan tensi?"
"Seharusnya. Tapi saya tidak bisa
mendeteksi." Suster itu makin panik, ia segera meminta bantuan temannya
yang juga diikuti oleh datangnya dokter penjaga malam.
Berbagai kemungkinan terburuk bersiliweran di
kepalaku. Apa lagi melihat kondisi ibu yang tidak lagi bisa aku ajak
berkomunikasi.
"Sabar ya, Pak. Bantu dengan do’a." Ucap
suster yang baru datang tadi seraya berusaha menekan dada ibu untuk membantu
pernapasan.
Secepatnya aku mendekatkan mulut ke telinga ibu dan
membimbing beliau mengucapkan dua kalimat syahadat. Meskipun tidak ada suara
yang keluar daru mulut ibu, aku percaya beliau mengikutiku.
Aku tersungkur. Nyaris tidak mempercayai apa yang
terjadi ketika dokter mengatakan bahwa ibu telah pergi untuk selama-lamanya.
Tidak ada kata yang bisa mewakili kesedihan dan ketidaksiapanku akan kehilangan
ibu selain air mata. Kata-kata 'sabar' yang terucap berulang kali dari bibir
suster dan dokter, benar-benar tidak lagi memiliki makna. Aku terus menangis
dan memaksa dokter segera meralat bahwa apa yang diucapkannya bohong.
"Pastikan lagi, Dok." Erangku, meminta
dokter itu untuk kembali memastikan bahwa ibu benar-benar sudah tidak ada.
Tapi, wajah dokter itu terlalu berduka jika aku terus-terusan mengatakan bahwa
ia tengah bercanda.
Aku lelah. Aku tidak lagi memiliki tenaga seiring
air mata yang mulai mengering. Aku berdiri dan mencium wajah ibu yang dingin.
Ibu memang sudah pergi dengan tenang.
Selamat jalan, Bu. Ini hari baik. Bulan ramadhan. 20
juli, tiga puluh tahun yang lalu Ibu memberikan kehidupan pada anakmu ini.
Sekarang, tepat pada tanggal 20 juli 2014 pukul 00:15 ibu pergi dengan tenang.
Ya Allah, entah ini kado dari-Mu untuk ulang tahunku
yang ke-30 atau apalah namanya, hamba mengikhlaskan perempuan hebat ini
pada-Mu. Tempatkan ibu dalam surga-Mu. Kelak hamba akan menyusul. Di sanalah
kebersamaan itu akan abadi.
Sampai kita berjumpa lagi, Bu. Tunggu aku di Jannah.
***
Tadi subuh aku memergoki ayah menangis di atas
sajadah. Ini adalah kali kedua aku melihat air mata laki-laki hebat itu.
Sebelumnya, beberapa saat setelah ibu menghembuskan napas terakhir. Siangnya
aku mengajak ayah ke pemakaman, membaca surat yasin sampai dzuhur.
Selamat istirahat, Bu. Surga Allah SWT adalah tempat
yang layak untuk perempuan hebat sepertimu.
_end_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar