Rabu, 06 Agustus 2014

Surga di Punggung Ayah

"Dia ayah, laki-laki berpeluh lebih asin daripada air segara. Serta liur yang melebihi pahitnya tuba. Siapa sangka, ia dibekali naluri yang sangat tajam. Menandingi ketajaman mata samurai yang baru diasah. Dia diam, tapi hatinya akan terus berkata-kata. Tanpa ada yang tahu, selain Tuhan. Matanya boleh saja memejam, tapi nur di hatinya tetap terang benderang. Dia membungkuk, merenta termakan usia, tapi punggungnya tetap kuat memanggul beban problematika kehidupan. Jika memang ada surga di kaki seorang ibu, maka besar kemungkinan akan ada surga di punggung seorang ayah."(Hal 1).
Hidup yang awalnya baik-baik saja, berubah total setelah kepergian Laila untuk selama-lamanya. Zain mendadak harus bisa menjadi orang tua tunggal untuk kedua anaknya.
"Lalu, siapa yang nanti akan menggantikan segala tugas-tugas Umi di rumah, Abah?"(Halaman 5).

Di tengah usaha Zain memberi pengertian tentang kepergian Laila untuk selama-lamanya pada kedua anaknya yang masih kecil, menjadi ayah sekaligus ibu yang serba bisa untuk Alka dan Samara, mendadak Zain juga harus menerima kenyataan lain bahwa ia harus berhenti bekerja sebagai waiter di sebuah restoran di Madinah. Pekerjaan yang selama ini ia jalani untuk menafkahi keluarga kecilnya.
Hanya ada satu pilihan Zain, membawa Alka dan Samara kembali ke Jakarta, dan dengan berat hati meninggalkan semua kenangan di Madinah.
"Abah... Kalau kita pulang ke Indonesia, bagaimana dengan makam Umi di sini? Siapa yang akan rawat makam Umi!?"(Halaman 21).
Pilihan kembali ke Jakarta ternyata bukanlah pilihan yang tepat. Berbagai cobaan tak henti mendera. Hidup menjadi orang miskin, di manapun memang tidak mengenakkan. Bagaimana Zain berjuang menjadi kuli bangunan dan guru mengaji untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, pendidikan kedua anaknya, dan biaya pengobatan Samara yang tiba-tiba membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Pertolongan bisa datang dari mana saja. Tidak memandang warna kulit, bentuk rambut, pun tak terkecuali dari orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Adalah Ellyah, janda beranak satu keturunan Inggris, Rusia, dan Manado yang dikirim Tuhan memberi pertolongan. Ellyah yang merupakan seorang Katolik yang taat, terpesona dengan suara Zain saat melantunkan ayat suci Alqur'an.
Kedekatan Zain dengan status duda dan Ellyah dengan status janda, menimbulkan masalah baru. Tentang benih cinta yang tumbuh, tentang perbedaan keyakinan antara mereka, dan tentang Alka yang merasa takut bahwa suatu saat Ellyah akan mengambil Zain darinya, pun cinta Zain dari Almarhum Uminya.
Alka kabur dari rumah, bertahun-tahun tak ada kabar. Samara tumbuh dalam kebencian yang merasa bahwa penyebab menghilangnya Alka adalah karena Zain, meskipun Samara tau bahwa setelah menjadi mualaf, Ellyah tidak pernah lagi berhubungan dengan abahnya. Sebuah pengorbanan yang sangat besar. Membunuh cinta pada wanita yang membuatnya percaya diri berdiri setelah keterpurukan, dan kehilangan anak yang teramat sangat disayang.
Bukan hanya Zain, rasa benci yang terus membenih membuat Samara, gadis kecil yang sekarang sudah menjelma menjadi gadis remaja nan cantik yang merintis karir sebagai model itu  meninggalkan Zain. Membiarkan laki-laki tua itu  melewati hari tua sendirian.
"Menjadi seorang ayah memang tidak mudah. Harus punya punggung yang kuat untuk memikul kehidupan. Saat muda, anak-anak membutuhkan kita. Bergelayut manja di punggung kita sesuka hati mereka. Tapi ketika kita merenta, mereka tidak selalu ada di samping kita." (Halaman153).
Novel ini memberikan pesan moral yang sangat banyak. Bagaimana kita harus berfikir lebih bijak sebelum mengambil keputusan. Bagaimana kita seharusnya menyikapi pada yang namanya kehilangan. Bagaimana yang namanya kata penyesalan itu sampai saat ini tetap menyakitkan. Bagaimana kita harus menghargai setiap perbedaan, termasuk dalam keyakinan beragama. Bagaimana bahwa kebenaran sesungguhnya itu hanya Tuhan yang maha tau.
"Aku selalu yakin bahwa tidak ada ajaran agama mana pun di dunia ini yang akan menyesatkan umatnya. Semua ajaran mengarahkan manusia pada nilai-nilai kebaikan. Tinggal bagaimana manusia itu sendiri membentuk dirinya menjadi orang yang berlaku baik atau buruk." (Halaman 89).
Untuk siapapun yang jauh dari Ayah, yang memiliki sedikit waktu dan selalu punya alasan untuk tidak mengunjungi Ayah, buku ini wajib dibaca. Percayalah, novel dengan ketebalan 241 halaman ini mampu melembutkan hati yang sempat mengeras karena urusan dunia.
“Ketahuilah, Nak, tidak ada doa seorang ayah yang tidak dijabah Allah jika itu ditujukan untuk kebaikan anak-anaknya. Makanya Abah yakin bahwa kalian pasti pulang ke pelukan Abah,  dengan cara apa pun yang ditakdirkan Allah,” (Halaman 234).
Sungguh, novel ini membuat mataku terbuka tentang kasih sayang sosok Ayah yang seringkali dipertanyakan. Novel ini berhasil membuatku menjadi laki-laki cengeng yang mendadak selalu ingin selalu berada dekat Ayah.
_________________________________________


Judul: Abah
Penulis: Ullan Pralihanta
Penerbit: Grasindo
Kategori: Fiksi
Tebal: 241 halaman
ISBN: 978-602-251-557-9

Peresensi: Zukril Yu, alumni Teknik Informatika di Universitas Lancang Kuning Pekanbaru

Sumber:
http://budaya.rimanews.com/buku/read/20140727/164162/Surga-di-Punggung-Ayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar