"Dia ayah, laki-laki berpeluh lebih asin
daripada air segara. Serta liur yang melebihi pahitnya tuba. Siapa sangka, ia
dibekali naluri yang sangat tajam. Menandingi ketajaman mata samurai yang baru
diasah. Dia diam, tapi hatinya akan terus berkata-kata. Tanpa ada yang tahu,
selain Tuhan. Matanya boleh saja memejam, tapi nur di hatinya tetap terang
benderang. Dia membungkuk, merenta termakan usia, tapi punggungnya tetap kuat
memanggul beban problematika kehidupan. Jika memang ada surga di kaki seorang
ibu, maka besar kemungkinan akan ada surga di punggung seorang ayah."(Hal
1).
Hidup yang awalnya baik-baik saja, berubah
total setelah kepergian Laila untuk selama-lamanya. Zain mendadak harus bisa
menjadi orang tua tunggal untuk kedua anaknya.
"Lalu, siapa yang nanti akan menggantikan
segala tugas-tugas Umi di rumah, Abah?"(Halaman 5).
Di tengah usaha Zain memberi pengertian
tentang kepergian Laila untuk selama-lamanya pada kedua anaknya yang masih
kecil, menjadi ayah sekaligus ibu yang serba bisa untuk Alka dan Samara,
mendadak Zain juga harus menerima kenyataan lain bahwa ia harus berhenti
bekerja sebagai waiter di sebuah restoran di Madinah. Pekerjaan yang
selama ini ia jalani untuk menafkahi keluarga kecilnya.
Hanya ada satu pilihan Zain, membawa Alka dan
Samara kembali ke Jakarta, dan dengan berat hati meninggalkan semua kenangan di
Madinah.
"Abah... Kalau kita pulang ke Indonesia,
bagaimana dengan makam Umi di sini? Siapa yang akan rawat makam
Umi!?"(Halaman 21).
Pilihan kembali ke Jakarta ternyata bukanlah
pilihan yang tepat. Berbagai cobaan tak henti mendera. Hidup menjadi orang
miskin, di manapun memang tidak mengenakkan. Bagaimana Zain berjuang menjadi
kuli bangunan dan guru mengaji untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,
pendidikan kedua anaknya, dan biaya pengobatan Samara yang tiba-tiba
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Pertolongan bisa datang dari mana saja. Tidak
memandang warna kulit, bentuk rambut, pun tak terkecuali dari orang yang
memiliki keyakinan yang berbeda. Adalah Ellyah, janda beranak satu keturunan
Inggris, Rusia, dan Manado yang dikirim Tuhan memberi pertolongan. Ellyah yang
merupakan seorang Katolik yang taat, terpesona dengan suara Zain saat
melantunkan ayat suci Alqur'an.
Kedekatan Zain dengan status duda dan Ellyah
dengan status janda, menimbulkan masalah baru. Tentang benih cinta yang tumbuh,
tentang perbedaan keyakinan antara mereka, dan tentang Alka yang merasa takut
bahwa suatu saat Ellyah akan mengambil Zain darinya, pun cinta Zain dari
Almarhum Uminya.
Alka kabur dari rumah, bertahun-tahun tak ada
kabar. Samara tumbuh dalam kebencian yang merasa bahwa penyebab menghilangnya
Alka adalah karena Zain, meskipun Samara tau bahwa setelah menjadi mualaf,
Ellyah tidak pernah lagi berhubungan dengan abahnya. Sebuah pengorbanan yang
sangat besar. Membunuh cinta pada wanita yang membuatnya percaya diri berdiri
setelah keterpurukan, dan kehilangan anak yang teramat sangat disayang.
Bukan hanya Zain, rasa benci yang terus
membenih membuat Samara, gadis kecil yang sekarang sudah menjelma menjadi gadis
remaja nan cantik yang merintis karir sebagai model itu meninggalkan
Zain. Membiarkan laki-laki tua itu melewati hari tua sendirian.
"Menjadi seorang ayah memang tidak mudah.
Harus punya punggung yang kuat untuk memikul kehidupan. Saat muda, anak-anak
membutuhkan kita. Bergelayut manja di punggung kita sesuka hati mereka. Tapi
ketika kita merenta, mereka tidak selalu ada di samping kita."
(Halaman153).
Novel ini memberikan pesan moral yang sangat
banyak. Bagaimana kita harus berfikir lebih bijak sebelum mengambil keputusan.
Bagaimana kita seharusnya menyikapi pada yang namanya kehilangan. Bagaimana yang
namanya kata penyesalan itu sampai saat ini tetap menyakitkan. Bagaimana kita
harus menghargai setiap perbedaan, termasuk dalam keyakinan beragama. Bagaimana
bahwa kebenaran sesungguhnya itu hanya Tuhan yang maha tau.
"Aku selalu yakin bahwa tidak ada ajaran
agama mana pun di dunia ini yang akan menyesatkan umatnya. Semua ajaran
mengarahkan manusia pada nilai-nilai kebaikan. Tinggal bagaimana manusia itu
sendiri membentuk dirinya menjadi orang yang berlaku baik atau buruk."
(Halaman 89).
Untuk siapapun yang jauh dari Ayah, yang
memiliki sedikit waktu dan selalu punya alasan untuk tidak mengunjungi Ayah,
buku ini wajib dibaca. Percayalah, novel dengan ketebalan 241 halaman ini mampu
melembutkan hati yang sempat mengeras karena urusan dunia.
“Ketahuilah, Nak, tidak ada doa seorang ayah
yang tidak dijabah Allah jika itu ditujukan untuk kebaikan anak-anaknya.
Makanya Abah yakin bahwa kalian pasti pulang ke pelukan Abah, dengan cara
apa pun yang ditakdirkan Allah,” (Halaman 234).
Sungguh, novel ini membuat mataku terbuka
tentang kasih sayang sosok Ayah yang seringkali dipertanyakan. Novel ini
berhasil membuatku menjadi laki-laki cengeng yang mendadak selalu ingin selalu
berada dekat Ayah.
_________________________________________
Judul: Abah
Penulis: Ullan Pralihanta
Penerbit: Grasindo
Kategori: Fiksi
Tebal: 241 halaman
ISBN: 978-602-251-557-9
Peresensi: Zukril Yu, alumni Teknik
Informatika di Universitas Lancang Kuning Pekanbaru
Sumber:
http://budaya.rimanews.com/buku/read/20140727/164162/Surga-di-Punggung-Ayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar