Sebuah cerpen yang Penulis sendiri
kesulitan menemukan media yang tepat menjadi jodohnya. Genre-nya nanggung. Dibilang misteri,
kurang menakutkan. Romantis? Ah, jauuuuhhh! Dari pada mengendap dalam my document, sepertinya lebih baik di share di sini dan di account sosmed yang Penulis punya.
>>>>>>
Cerita ini fiktif. Sangat sangat fiktif.
………………………………………………………………………………………………………………..
A
cerpen RAMONA
by
Zukril Yu
Hampir jam 22.00 WIB,
aku masih saja berkutat dengan pekerjaan. Laporan pengiriman barang-barang yang
sempat delay karena cuaca yang
akhir-akhir ini memburuk, juga beberapa pending
job yang harus aku selesaikan malam ini juga. Melihat tumpukan pekerjaan
yang begitu banyak, menungguku untuk menjamah satu-satu, entah mengapa jarum
jam di dinding itu terasa begitu cepat melaju. Jari tangan dan fikiranku seakan
kehabisan bahan bakar untuk berpacu dengan waktu. Besok pagi semua laporan ini
harus kelar, itu permintaan Big Boss.
Pastinya ini bukan permintaan terakhir. Ya, karena besok dan besok-besok nya
lagi, pekerjaaan baru akan terus menunggu dengan deadline yang sama. Sumpah, pekerjaan ini tidak ada habisnya. Tapi case kali ini berbeda. Besok pagi Si Bos
harus memberikan laporan langsung ke pusat karena akhir-akhir ini begitu banyak
complain dari customer tentang quality
product, pun keterlambatan pengiriman.
Lelah benar-benar
menguasai setiap persendianku. Wajar, hampir 15 jam aku duduk diam melototin
monitor ini. Huuu… Aku jadi begitu merindukan kamarku, bantal dan guling yang
sudah kucel, juga aroma apek selimut. Hihihi… Tapi bagaimanapun, ruang kecil
itu memiliki power yang sangat luar
biasa. Di sanalah tempatku memulihkan tenaga, me-refresh otak yang penat akan segala tekanan.
Kurentangkan kedua
tangan untuk melemaskan persendian dan menghilangkan rasa kantuk, tapi tetap saja
aku kembali menguap. Sejenak kualih pandang keluar jendela, masih gerimis.
Benang-benang kristal itu memang sedari tadi pagi bergelayut dari langit.
Begitu manja, hingga sampai malam begini masih juga belum reda. Hmmm… Menikmati
goreng pisang sembari menyaksikan aksi kocak Tukul di Bukan Empat Mata,
sepertinya jauh lebih menyenangkan dari pada berhadapan dengan
tumpukan-tumpukan laporan ini.
Semangat Haris … Jam
23.00 Wib harus selesai!
Buggghh ….
Tiba-tiba aku
mendengar suara di ruang sebelah. Seperti suara buku yang jatuh. Refleks
retinaku mengarah ke ruang sebelah. Kebetulan pembatas ruanganku dengan ruang
sebelah, separoh keatas berdindingkan kaca. Jadi aku tidak perlu berdiri untuk
melihat sumber suara tadi. Tidak ada seorangpun di sana, dan memang tidak ada.
Karena dari tadi tinggal aku sendiri di lantai 2 gedung ini. Rasa penasaranku
makin menjadi tatkala dari kejauhan aku juga melihat kursi Mbak Sri bergoyang.
Tapi bukankah Mbak Sri sudah pulang usai maghrib tadi? Kalau bukan Mbak Sri,
lantas siapa?
Lagi-lagi, rasa
penasaran membawaku ke ruang itu. Kutinggalkan sejenak pekerjaan yang masih
menunggu.
Hujan yang sedari
tadi pagi masih menyisakan gerimis, dingin AC, lelah, juga rasa kantuk yang
masih mendera, seketika menguap semua menyaksikan seorang gadis kecil dengan
pakaian agak lusuh sedang meringkuk di bawah meja kerja Mbak Sri. Ramona! Ya,
Ramona, anak Mbak Sri. Tapi mengapa malam-malam begini dia masih di sini?
Bukankah mama-nya sudah pulang sedari tadi.
“Ramona?” Suaraku
sedikit tersedak untuk memastikan bahwa gadis kecil ini benar-benar sosok yang
ada di fikiranku.
“Om, Haris .…” Ramona
nggak kalah lebih kaget dari aku.
“Kok Ramona masih di
sini? Bukankah Mama sudah pulang?” Ku dekati dia.
“Tadi habis sholat
maghrib, Ramona mengerjakan tugas sekolah di Mushola bawah. Mama melanjutkan
kerjanya. Tapi Ramona ketiduran .... Waktu terbangun, Ramona langsung ke sini,
tapi Mama udah nggak ada lagi. Ramona takut, Om!” Akhir-akhir ini Mbak Sri
memang sering membawa Ramona ke kantor, pasca perceraiannya dengan sang suami.
Alasan Mbak Sri karena belum ada yang menjaga Ramona di rumah. Kebetulan Si Bos
mengerti kondisi Mbak Sri dan memberi dispensasi selagi tidak mengganggu
pekerjaan.
“Sekarang Ramona
nggak usah takut ya, kan sudah ada Om Haris. Nanti Om telpon mama.” Hiburku.
Walau masih sedikit penasaran, karena dari tadi pagi sepertinya sekalipun aku
tidak melihat keberadaan Ramona. Tapi memang sudah kebiasaanku, kalau sudah
bergumul dengan pekerjaan yang sangat bejibun, aku sering tidak peka lagi dengan
keadaan sekitar.
Kuraih ponsel jadul
yang nongkrong manis di meja kerjaku. Mencet tombol call ketika aku sudah menemukan nama Mbak Sri di phonebook. Tapi …
“Pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini.” Busyet .… Aku lupa
mengisi pulsa. Kembali aku mendekati Ramona di ruang sebelah.
“Ntar Ramona pulang
sama Om aja ya .…” Ramona mengangguk pelan. “Sekarang Ramona main game aja dulu. Sebentar lagi kita
pulang. Pekerjaan Om masih ada sedikit lagi.” Ku buka file game favorit Ramona di komputer kerja Mama-nya.
Aku kembali ke ruang
kerjaku. Menyelesaikan sedikit laporan lagi. Sesekali aku mengawasi Ramona dari
kejauhan, dia masih asyik menikmati permainan game.
Kasihan gadis kecil
itu. Pasca perceraian kedua orang tuanya, hampir 3 bulan Ramona tidak pernah
bertemu Papa-nya. Tapi, benarkah Ramona merindukan Papa-nya? Papa yang suka
mabuk-mabukan. Papa yang bisanya hanya menyiksa Mama. Bahkan tak jarang juga
menyiksanya. Ya, cobalah perhatikan ketika Ramona berjalan. Pincang itu karena
tendangan Sang Papa. Bekas luka jahit di pipi itu juga hadiah spesial dari Sang
Papa.
Sang Papa. Apakah
panggilan itu layak untuknya? Papa yang seharusnya melindunginya ketika
temannya Rando yang jahil kembali mengganggunya di sekolah. Papa yang
seharusnya mengajarinya naik sepeda. Papa yang seharusnya memeluk dan mengecup
keningnya ketika anaknya mendapat nilai yang bagus di sekolah. Papa yang
seharusnya menemaninya sampai pagi ketika dokter mengharuskannya rawat inap
ketika sakit. Papa yang seharusnya …, entahlah. Begitu banyak keharusan yang
Ramona tidak dapat dari yang namanya Papa.
Setidaknya
begitulah cerita Mbak Sri. Dari awal semuanya sudah salah. Ketakutan tidak
mendapatkan jodoh ketika umur sudah berkepala tiga, membuat Mbak Sri tidak berfikir
banyak ketika dijodohkan dengan lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Dan
lihatlah … suaminya tidak hanya suka berbuat kasar padanya dan anaknya, tapi
suaminya juga suka mabuk-mabukan, berjudi, dan bermain perempuan.
Bertahun-tahun
lamanya Mbak Sri berusaha sabar bertahan, tak henti-hentinya berharap dalam
do’a. Tapi percuma, harapan itu tak kunjung ada. Sedikitpun suaminya tak
menyadari kesalahannya. Puncaknya malam itu, ketika suaminya kalah berjudi,
dalam keadaan mabuk pulang meminta uang. Mbak Sri tidak mau memberi, dan
suaminya terus memaksa. Dalam keadaan kalap, Suaminya melayangkan tamparan
kearah Mbak Sri. Tapi siapa nyana, tamparan itu justru mengena tepat di pipi
Ramona yang saat itu menangis terisak dalam pelukan Mbak Sri. Tulang pipi Ramona
memang tidak patah, tapi robekan itu harus dijahit.
Berhari-hari Ramona
dirawat dirumah sakit, sekalipun sang Papa tidak pernah menjenguknya. Masih
layakkah itu dipanggil Papa?
Kecewa, itu sudah sangat
pasti. Tapi Mbak Sri sudah paham betul, kekecewaan itu hanya akan ada ketika ia
terus menggantungkan harapan. Dan harapan itu telah dibunuhnya.
Selama seminggu Mbak
Sri izin kerja. Waktu selama itu tidak hanya dipakai untuk menjaga Ramona di
rumah sakit, tapi juga dipakai untuk memantapkan hatinya untuk mengajukan
gugatan cerai. Mbak Sri yakin, cerai adalah salah satu jalan terbaik. Tidak
hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga melindungi Ramona.
Sekarang, sebagai single parent, Mbak Sri kembali menata
hidup. Dia dan Ramona, putri semata wayangnya. Tapi beberapa hari ini, kembali
Mbak Sri membawa Ramona ketempat kerja. Alasan Mbak Sri, akhir-akhir ini Ramona
sering panas tinggi dan mengigau. Selain karena tidak ada yang menjaga, Papa
Ramona juga sering datang ke rumah. Dan itu sangat membuat Ramona ketakutan.
***
Kembali dari
kejauhan, dari ruang kerja, aku memperhatikan Ramona. Dia masih asyik main game. Kulanjutkan menyelesaikan
pekerjaan yang tinggal sedikit lagi. Sekitar 10 menit lagi akan kelar.
Malam makin dingin, gerimis di luar sana juga tidak kunjung berhenti. Untuk
kesekian kali aku menguap menahan kantuk. Kuambil remote AC dan menekan tombol off. Sepertinya begini lebih baik.
Tiba-tiba ponselku
berbunyi. Nada pesan singkat masuk. Dari Mbak Layla, rekan kerjaku juga.
“Innalillahi wainnaillahi Rojiun… Telah berpulang ke
Rahmatullah, Ramona, anak Mbak Sri, ba’da isya tadi karena panas tinggi.”
Ludahku tercekat usai
membaca pesan singkat ini. Tidak mungkin .… Mbak Layla pasti salah kirim. Refleks
aku mengalih pandang ke ruang sebelah, ke meja kerja Mbak Sri, ke komputer Mbak
Sri. Tapi tidak seorang pun ada di sana. Ramona? Ke mana dia? Sangat cepat,
kuhampiri meja kerja mbak Sri, tiap sudut ruang ini tidak lepas dari
penglihatanku. Benar. Tidak seorangpun yang ada di ruangan ini. Kecuali aku,
pesan singkat Mbak Layla, dan kursi kerjanya Mbak sri yang sedikit bergoyang.
Tiba-tiba aku merasakan hawa yang lain dari ruangan ini. Sejuk, tapi bukan
sejuk AC. Bulu kudukku seketika merinding. Dan makin merinding ketika Aku
melihat layar komputer Mbak Sri bertuliskan Game
over. Benarkah pesan yg dikirim Mbak Layla ini? Lantas siapa yang tadi
bersamaku?
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar