Sabtu, 21 September 2013

a cerpen RAMONA



Sebuah cerpen yang Penulis sendiri kesulitan menemukan media yang tepat menjadi jodohnya. Genre-nya nanggung. Dibilang misteri, kurang menakutkan. Romantis? Ah, jauuuuhhh! Dari pada mengendap dalam my document, sepertinya lebih baik di share di sini dan di account sosmed yang Penulis punya.
>>>>>> Cerita ini fiktif. Sangat sangat fiktif.


………………………………………………………………………………………………………………..

A cerpen RAMONA
by Zukril Yu



Hampir jam 22.00 WIB, aku masih saja berkutat dengan pekerjaan. Laporan pengiriman barang-barang yang sempat delay karena cuaca yang akhir-akhir ini memburuk, juga beberapa pending job yang harus aku selesaikan malam ini juga. Melihat tumpukan pekerjaan yang begitu banyak, menungguku untuk menjamah satu-satu, entah mengapa jarum jam di dinding itu terasa begitu cepat melaju. Jari tangan dan fikiranku seakan kehabisan bahan bakar untuk berpacu dengan waktu. Besok pagi semua laporan ini harus kelar, itu permintaan Big Boss. Pastinya ini bukan permintaan terakhir. Ya, karena besok dan besok-besok nya lagi, pekerjaaan baru akan terus menunggu dengan deadline yang sama. Sumpah, pekerjaan ini tidak ada habisnya. Tapi case kali ini berbeda. Besok pagi Si Bos harus memberikan laporan langsung ke pusat karena akhir-akhir ini begitu banyak complain dari customer tentang quality product, pun keterlambatan pengiriman.


 
Lelah benar-benar menguasai setiap persendianku. Wajar, hampir 15 jam aku duduk diam melototin monitor ini. Huuu… Aku jadi begitu merindukan kamarku, bantal dan guling yang sudah kucel, juga aroma apek selimut. Hihihi… Tapi bagaimanapun, ruang kecil itu memiliki power yang sangat luar biasa. Di sanalah tempatku memulihkan tenaga, me-refresh otak yang penat akan segala tekanan.
Kurentangkan kedua tangan untuk melemaskan persendian dan menghilangkan rasa kantuk, tapi tetap saja aku kembali menguap. Sejenak kualih pandang keluar jendela, masih gerimis. Benang-benang kristal itu memang sedari tadi pagi bergelayut dari langit. Begitu manja, hingga sampai malam begini masih juga belum reda. Hmmm… Menikmati goreng pisang sembari menyaksikan aksi kocak Tukul di Bukan Empat Mata, sepertinya jauh lebih menyenangkan dari pada berhadapan dengan tumpukan-tumpukan laporan ini.
Semangat Haris … Jam 23.00 Wib harus selesai!
Buggghh ….
Tiba-tiba aku mendengar suara di ruang sebelah. Seperti suara buku yang jatuh. Refleks retinaku mengarah ke ruang sebelah. Kebetulan pembatas ruanganku dengan ruang sebelah, separoh keatas berdindingkan kaca. Jadi aku tidak perlu berdiri untuk melihat sumber suara tadi. Tidak ada seorangpun di sana, dan memang tidak ada. Karena dari tadi tinggal aku sendiri di lantai 2 gedung ini. Rasa penasaranku makin menjadi tatkala dari kejauhan aku juga melihat kursi Mbak Sri bergoyang. Tapi bukankah Mbak Sri sudah pulang usai maghrib tadi? Kalau bukan Mbak Sri, lantas siapa?
Lagi-lagi, rasa penasaran membawaku ke ruang itu. Kutinggalkan sejenak pekerjaan yang masih menunggu.
Hujan yang sedari tadi pagi masih menyisakan gerimis, dingin AC, lelah, juga rasa kantuk yang masih mendera, seketika menguap semua menyaksikan seorang gadis kecil dengan pakaian agak lusuh sedang meringkuk di bawah meja kerja Mbak Sri. Ramona! Ya, Ramona, anak Mbak Sri. Tapi mengapa malam-malam begini dia masih di sini? Bukankah mama-nya sudah pulang sedari tadi.
“Ramona?” Suaraku sedikit tersedak untuk memastikan bahwa gadis kecil ini benar-benar sosok yang ada di fikiranku.
“Om, Haris .…” Ramona nggak kalah lebih kaget dari aku.
“Kok Ramona masih di sini? Bukankah Mama sudah pulang?” Ku dekati dia.
“Tadi habis sholat maghrib, Ramona mengerjakan tugas sekolah di Mushola bawah. Mama melanjutkan kerjanya. Tapi Ramona ketiduran .... Waktu terbangun, Ramona langsung ke sini, tapi Mama udah nggak ada lagi. Ramona takut, Om!” Akhir-akhir ini Mbak Sri memang sering membawa Ramona ke kantor, pasca perceraiannya dengan sang suami. Alasan Mbak Sri karena belum ada yang menjaga Ramona di rumah. Kebetulan Si Bos mengerti kondisi Mbak Sri dan memberi dispensasi selagi tidak mengganggu pekerjaan.
“Sekarang Ramona nggak usah takut ya, kan sudah ada Om Haris. Nanti Om telpon mama.” Hiburku. Walau masih sedikit penasaran, karena dari tadi pagi sepertinya sekalipun aku tidak melihat keberadaan Ramona. Tapi memang sudah kebiasaanku, kalau sudah bergumul dengan pekerjaan yang sangat bejibun, aku sering tidak peka lagi dengan keadaan sekitar.
Kuraih ponsel jadul yang nongkrong manis di meja kerjaku. Mencet tombol call ketika aku sudah menemukan nama Mbak Sri di phonebook. Tapi …
“Pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini.” Busyet .… Aku lupa mengisi pulsa.  Kembali aku mendekati Ramona di ruang sebelah.
“Ntar Ramona pulang sama Om aja ya .…” Ramona mengangguk pelan. “Sekarang Ramona main game aja dulu. Sebentar lagi kita pulang. Pekerjaan Om masih ada sedikit lagi.” Ku buka file game favorit Ramona di komputer kerja Mama-nya.
Aku kembali ke ruang kerjaku. Menyelesaikan sedikit laporan lagi. Sesekali aku mengawasi Ramona dari kejauhan, dia masih asyik menikmati permainan game.
Kasihan gadis kecil itu. Pasca perceraian kedua orang tuanya, hampir 3 bulan Ramona tidak pernah bertemu Papa-nya. Tapi, benarkah Ramona merindukan Papa-nya? Papa yang suka mabuk-mabukan. Papa yang bisanya hanya menyiksa Mama. Bahkan tak jarang juga menyiksanya. Ya, cobalah perhatikan ketika Ramona berjalan. Pincang itu karena tendangan Sang Papa. Bekas luka jahit di pipi itu juga hadiah spesial dari Sang Papa.
Sang Papa. Apakah panggilan itu layak untuknya? Papa yang seharusnya melindunginya ketika temannya Rando yang jahil kembali mengganggunya di sekolah. Papa yang seharusnya mengajarinya naik sepeda. Papa yang seharusnya memeluk dan mengecup keningnya ketika anaknya mendapat nilai yang bagus di sekolah. Papa yang seharusnya menemaninya sampai pagi ketika dokter mengharuskannya rawat inap ketika sakit. Papa yang seharusnya …, entahlah. Begitu banyak keharusan yang Ramona tidak dapat dari yang namanya Papa.
 Setidaknya begitulah cerita Mbak Sri. Dari awal semuanya sudah salah. Ketakutan tidak mendapatkan jodoh ketika umur sudah berkepala tiga, membuat Mbak Sri tidak berfikir banyak ketika dijodohkan dengan lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Dan lihatlah … suaminya tidak hanya suka berbuat kasar padanya dan anaknya, tapi suaminya juga suka mabuk-mabukan, berjudi, dan bermain perempuan.
Bertahun-tahun lamanya Mbak Sri berusaha sabar bertahan, tak henti-hentinya berharap dalam do’a. Tapi percuma, harapan itu tak kunjung ada. Sedikitpun suaminya tak menyadari kesalahannya. Puncaknya malam itu, ketika suaminya kalah berjudi, dalam keadaan mabuk pulang meminta uang. Mbak Sri tidak mau memberi, dan suaminya terus memaksa. Dalam keadaan kalap, Suaminya melayangkan tamparan kearah Mbak Sri. Tapi siapa nyana, tamparan itu justru mengena tepat di pipi Ramona yang saat itu menangis terisak dalam pelukan Mbak Sri. Tulang pipi Ramona memang tidak patah, tapi robekan itu harus dijahit.
Berhari-hari Ramona dirawat dirumah sakit, sekalipun sang Papa tidak pernah menjenguknya. Masih layakkah itu dipanggil Papa?
Kecewa, itu sudah sangat pasti. Tapi Mbak Sri sudah paham betul, kekecewaan itu hanya akan ada ketika ia terus menggantungkan harapan. Dan harapan itu telah dibunuhnya.
Selama seminggu Mbak Sri izin kerja. Waktu selama itu tidak hanya dipakai untuk menjaga Ramona di rumah sakit, tapi juga dipakai untuk memantapkan hatinya untuk mengajukan gugatan cerai. Mbak Sri yakin, cerai adalah salah satu jalan terbaik. Tidak hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga melindungi Ramona.
Sekarang, sebagai single parent, Mbak Sri kembali menata hidup. Dia dan Ramona, putri semata wayangnya. Tapi beberapa hari ini, kembali Mbak Sri membawa Ramona ketempat kerja. Alasan Mbak Sri, akhir-akhir ini Ramona sering panas tinggi dan mengigau. Selain karena tidak ada yang menjaga, Papa Ramona juga sering datang ke rumah. Dan itu sangat membuat Ramona ketakutan.
***
Kembali dari kejauhan, dari ruang kerja, aku memperhatikan Ramona. Dia masih asyik main game. Kulanjutkan menyelesaikan pekerjaan yang tinggal sedikit lagi. Sekitar 10 menit lagi akan kelar.  Malam makin dingin, gerimis di luar sana juga tidak kunjung berhenti. Untuk kesekian kali aku menguap menahan kantuk. Kuambil remote AC dan menekan tombol off. Sepertinya begini lebih baik.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nada pesan singkat masuk. Dari Mbak Layla, rekan kerjaku juga.
“Innalillahi wainnaillahi Rojiun… Telah berpulang ke Rahmatullah, Ramona, anak Mbak Sri, ba’da isya tadi karena panas tinggi.”
Ludahku tercekat usai membaca pesan singkat ini. Tidak mungkin .… Mbak Layla pasti salah kirim. Refleks aku mengalih pandang ke ruang sebelah, ke meja kerja Mbak Sri, ke komputer Mbak Sri. Tapi tidak seorang pun ada di sana. Ramona? Ke mana dia? Sangat cepat, kuhampiri meja kerja mbak Sri, tiap sudut ruang ini tidak lepas dari penglihatanku. Benar. Tidak seorangpun yang ada di ruangan ini. Kecuali aku, pesan singkat Mbak Layla, dan kursi kerjanya Mbak sri yang sedikit bergoyang. Tiba-tiba aku merasakan hawa yang lain dari ruangan ini. Sejuk, tapi bukan sejuk AC. Bulu kudukku seketika merinding. Dan makin merinding ketika Aku melihat layar komputer Mbak Sri bertuliskan Game over. Benarkah pesan yg dikirim Mbak Layla ini? Lantas siapa yang tadi bersamaku?


-END-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar