Jumat, 09 Maret 2012

Pulang Kampung


Bumi minang. Setelah sekian lama, akhirnya kutapaki kembali tanah kelahiran. Di penghujung februari. Tanah, air, udara, dan aroma alamnya masih sama seperti dulu. Selalu memuncahkan rindu.
Kutelusuri tiap sudut kampung, ada begitu banyak catatan yang tertinggal. Tentang aku, kamu, dan *paja tu… (Hahay…) juga tentang mimpi masa kecil yang masih ku-eja.
***
Pagi ini masih sama seperti pagi 20 tahun yang lalu. Ayah duduk dikursi kayu ditemani segelas besar kopi hitam. Ibu duduk di seberang meja sambil menikmati goreng pisang buatan sendiri. Yang berbeda adalah guratan tua yang makin terlihat jelas di wajah mereka.
Sembari menunggu mobil travel yang akan menjemput langsung ke rumah, kembali kunikmati pagi ini bersama Ayah dan Ibu. Mungkin tidak akan sempurna, karena detik-detik keberangkatanku tengah menunggu. kuhirup teh hangat buatan Ibu. Hmmm… betapa beratnya pagi ini. Ya, tiba saatnya aku  harus meninggalkan kampung halaman, Ayah, Ibu, dan kembali keperantauan setelah 1 minggu menikmati kebersamaan.
Waktu yang ditunggu datang juga. Dan aku paling benci itu. Perpisahan. Beberapa kali klakson mobil travel memanggil dari depan rumah. Aku segera pamit. Ayah dan Ibu meghantar sampai bibir pintu mobil travel. Kupeluk Ibu agak lama.
“Mohon do’anya ya, Bu… Mohon do’anya agar kerjaku tetap lancar, dan kuliahku cepat kelar.” Ucapku lirih saat kucium tangan Ibu. Ibu mengusap lembut kepalaku.
“Ibu selalu mendo’kan yang terbaik untukmu. Dirantau, sholat 5 waktumu jangan bolong-bolong. Karena percuma saja ibu tiap hari sujud mendo’akanmu, tapi sholatmu ndak benar. Kesehatan juga harus dijaga. Kurangi makan Mie instan.”
Kucium pipi Ibu, sebelum akhirnya aku pamit sama Ayah.
“Hati-hati nyebrang jalan…”
Ah, Ayah… Nasehatmu masih sama seperti dulu. Setiap kali aku hendak pergi ke kota, Ayah selalu mengucapkan kalimat yang sama. Sangat sederhana.

*Paja tu (Bahasa minang) = Dia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar